Imbas dari itu tuduhan terhadap pemerintah sebagai anti Islam, bahkan dianggap memusuhi Islam begitu kuat dan masif melalui jejaring medsos.
Penguasa walau diterpa fitnah namun tetap bekerja dan bekerja. Bahkan semakin kokoh merangkul kalangan ulama sebagai partner dalam menjalankan roda pemerintahan, sekaligus menepis isu anti Islam.
Sebagai bukti, baru era Jokowi diperingati hari Santri, disamping ada pembacaan Sholawat dan Istighosah di Istana.
Nilai Juang Abah Yai Ma'ruf Amin
Ada Tiga hal yang sering terucapkan dalam berbagai orasi ilmiah Abah yai Ma'ruf. Ulama kata Abah Yai Ma'ruf itu harus menyiapkan santri calon ulama (faqihu fiddin) dari itu ulama harus mengajar.
dalam rangka mempersiapkan calon-calon ulama.
Selanjutnya, di samping mengajar mencetak ulama (faqihu fiddin) ulama juga harus membentuk jama 'ah (Berorganisasi). Dengan organisasi terbentuk kekuatan bersama untuk menjaga agama, termasuk melindungi agama dari kesewenang - wenangan. Beliau mencontohkan NU didirikan salah satunya untuk menjaga agama dari rongrongan. Rongrongan agama dari interpretasi menyimpang seperti aksi bunuh diri sebagai jalan jihad.
Terakhir tugas ulama yaitu menjaga bangsa nya dari kehancuran, cerai berai dan permusuhan. Dari itu diperlukan bargaining politik dalam rangka memperkuat kedudukan bangsa dan negara dari bahaya kehancuran.
Kini NKRI semakin berat tantangannya, terutama faham transnational yang menginginkan khilafah, menganggap NKRI negeri kufur.
Padahal Indonesia adalah "Dar al-'Ahdi", rumah kesepakatan, yg didalamnya telah dibentuk aturan-aturan yg mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia bukan "Dar al-Harbi", rumah peperangan.
Dalam rangka menyempurnakan tugas keulamaan, Abah Yai Ma'ruf Amin bersedia dicalonkan sebagai wakil presiden bersama mendampingi Jokowi.
Pemimpin negeri ini perlu disokong religius nasionalis mengingat semakin kuatnya rongrongan terhadap Pancasila dan NKRI.
Teranyar hasil studi Setara Institute, pada Februari-April 2019 di 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), meliputi; Universitas Indonesia (UI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB), UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Riset juga dilakukan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Mataram (Unram), dan Universitas Airlangga (Unair).
Melalui riset ini, Setara menemukan tiga wacana keagamaan yang dominan di 10 kampus tersebut. Pertama, propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi maupun bangsa, hanya bisa diraih lewat ketaatan terhadap "jalan Islam". Jalan yang dimaksud ialah Al Quran dan hadist. Sebuah pandangan puritan yang membatasi kebijaksanaan agama ini hanya di dua sumber utama tersebut.
Kedua, propaganda bahwa Islam sedang di dalam ancaman musuh-musuhnya. Musuh yang dimaksud ialah kalangan Kristen, Zionisme, imperalisme Barat, kapitalisme, serta kaum Muslim sekular dan liberal. Ketiga, ajakan untuk melakukan perang pemikiran (ghazw al-fikr) dalam rangka melawan berbagai ancaman tersebut demi kejayaan Islam.
Dengan metode terstruktur, sistematis, dan massif, gerakan tarbiyah dan eks-HTI ini berusaha menguasai lingkungan kampus. Dimulai dari penguasaan terhadap organisasi mahasiswa intra-kampus, masjid besar kampus, mushala fakultas, hingga asrama mahasiswa. Gerakan ini sudah berjalan lama, tepatnya sejak awal dekade 1980. Saat ini, gerakan tersebut sudah mapan dengan buah kaderisasi militan dan tersebar. (Syaiful Arif, Kompas, 8 Juni, 2019)