Mohon tunggu...
Windu Basuki
Windu Basuki Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan yang suka membaca

Pekerja Professional dan Mandiri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup untuk Makan atau Makan untuk Hidup? Jangan Pandang Sebelah Mata Pangan Lokal Kita

20 Februari 2020   13:42 Diperbarui: 20 Februari 2020   13:56 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangan Lokal Bernutrisi./dok: gikafkub.com

Orang cenderung berpikir, untuk mengikuti pola hidup sehat pasti mahal. Ya coba saja, pasti diantara kita berasumsi segala sesuatu yang bernutrisi, bergizi, pasti didapat dari segala jenis pangan yang berkualitas tinggi. Alias berharga mahal.

Selaku negara dengan daya beli yang menurut saya lumayan kuat, sudah waktunya masyarakat Indonesia lebih cerdas dalam memilih pangan. Jangan mau lah kita terus dibego-begoin, dibilang 'makanan ini keren!'. Tidak usah juga maksain ke resto di mall demi update social media.

Pada dasarnya, untuk mengkonsumsi pangan yang sehat dan kaya nutrisi bukan sesuatu yang sulit. Tapi kebanyakan orang seperti sudah terdoktrin dengan istilah yang dikenal kebanyakan orang, "harga tidak pernah bohong dan "harga menunjukkan kualitas". Padahal tidak selalu demikian adanya.
 
"Jadikan makanan obat-mu dan obat makanan-mu." Isi pesan Hipokrates (460--370 SM), dokter yang paling terkenal di sepanjang sejarah ini sekarang cenderung dilupakan.

Pangan lokal kerap dipandang sebelah mata karena gempuran pangan impor. Bahkan Makanan super alias superfood yang merujuk pada bahan makanan impor justru menjadi tren di Indonesia. Sayang sekali ya, padahal pangan yang ada di bumi pertiwi ini sangat banyak yang sangat kaya nutrisi.

Seperti namanya, superfood merupakan makanan yang marak dari negeri manca dan menggunakan bahan impor, mulai dari hia seed, blueberry, kiwi, kale, hingga quinoa. Selain rasa yang menarik, superfood juga memiliki tampilan cantik bila difoto dan diunggah di sosial media.

Bagaimana tidak, setiap kali memulai untuk menyantap makanan, berapa banyak dari kita yang lebih penting menata apik dan mengunggah dahulu di laman media sosial. Ketimbang memikirkan apakah makanan tersebut juga baik dampaknya untuk tubuh kita. Termasuk kamu juga kan? (hehe..)

Ya memang sih patut diakui selama ini potensi makanan dalam negeri kurang dikenal mayarakat karena kurang promosi. Disamping itu permasalahan seperti bentuk kemasan yang kurang menarik atau olahan yang dibuat kurang disukai. Setuju kalau soal ini.

Indonesia punya sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang begitu kaya. Misalnya saja pilihan karbohidrat di Indonesia. Tak hanya nasi putih, kita punya aneka umbi-umbian yang tak kalah bikin kenyang.

Tapi kadang ada benarnya dengan pepatah 'sengsara membawa nikmat'. Loh, hubungannya dengan pangan sehat apa?. Tenang, mari kita bahas maksud dan tujuannya.

Tahu kan seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, ternyata jenis penyakit juga ikut berevolusi, bahkan 'ber-reinkarnasi' dalam wujud penyakit baru. Saya pikir bahwa penyakit bisa muncul dari pola hidup manusia itu sendiri.  Tetapi untuk mencegahnya ya juga dari pola hidup manusia-nya sendiri.

Nah, makin kesini, dengan berbagai penyakit yang kini bermunculan. Meluasnya non-communicable diseases atau penyakit-penyakit yang tidak menular (kanker, aterosklerosis, diabetes, stroke, artritis, obesitas, jantung koroner, osteoporosis), di tengah majunya teknologi dan industri obat-obatan masa kini.

Orang mulai 'eling' akan perlunya hidup sehat. Dan dimulai dari makan makanan yang sehat. Jadi, justru dari gaya makan sehat, bisa menjadi 'celah' pangan lokal kembali digemari. Setuju dong kalau makanan yang baik adalah obat yang baik pula.

Pangan lokal punya nutrisi yang lebih baik. Pasalnya, mereka tidak melewati jalan yang panjang di truk maupun di ruang penyimpanan. Makin singkat distribusinya, maka potensi hilangnya nutrisi dan vitamin pun semakin berkurang.

Jadi, sampai disini paham kan maksud saya tentang 'sengsara membawa nikmat'?. Ternyata adanya berbagai penyakit justru menyadarkan kita untuk kembali ke alam, kembali kepada sesuatu yang baik yang justru dihasilkan bumi pertiwi ini.

Pangan itu bermacam-macam. Namun, tidak semua memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh. Saatnya mengubah persepsi bahwa 'makanan disantap terutama demi kenikmatannya', persepsi yang fatal Kawan!. Makanlah demi fungsinya. 

Bahwa yang menyehatkan bukan melulu harus dikonsumsi dari luar. Bahkan pangan lokal jauh lebih kaya nutrisi dibandingkan yang impor. Butuh bukti?

Untuk di negera asia lain yang juga sama memiliki jenis makanan pokok berupa nasi yang berasal dari beras. Mungkin akan sulit menemukan makanan yang tinggi karbohidrat sebagai pengganti nasi. Bagaimana dengan Indonesia?, Tentu tidak.

Salah satu umbi yang memiliki nilai strategis sebagai pengganti nasi putih adalah singkong. Singkong mengandung karbohidrat sangat tinggi sekitar 34-38 gram per 100 gram. Kandungan energinya 146-157 kalori per 100 gram bahan. Ada juga Ubi Jalar, Umbi Talas, mengandung vitamin, mineral, antioksidan dan serat.

Umbi Talas, salah satu jenis umbi-umbian pengganti nasi/dok: bisnisukm.com
Umbi Talas, salah satu jenis umbi-umbian pengganti nasi/dok: bisnisukm.com
Itu baru sebagian kecil dari beberapa jenis pangan pengganti nasi putih. Masih ada, kentang, umbi garut, suweg, ganyong, gadung, gembili juga uwi. Pernah dengar nama-nama umbi-umbian tersebut?, Jarang ya, tidak sepopuler Udon dan Ramen kan?, (haha...)

Bicara soal 'Ramen' makanan mie yang kekinian itu, jika melihat pola konsumsi masyarakat Indonesia saat ini, mie merupakan sumber karbohidrat kedua yang banyak dikonsumsi setelah beras. Bahkan hasil penelitian, ternyata pola konsumsi masyarakat mulai bergeser ke terigu dan mie. 

Sayangnya, mie yang selama ini banyak dikonsumsi masyarakat umumnya terbuat dari bahan baku impor (terigu).

Nah, guna mengurangi ketergantungan terhadap produk impor, kini dikembangkan mie dari bahan pangan lokal. Kementan melalui Balai Besar Pascapanen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, telah memiliki teknologi pengolahan mie berbahan baku tepung dalam negeri.

Mie yang terbuat dari Ubi Kayu untuk mengganti terigu dan bebas gluten/dok : litbang.pertanian.go.id
Mie yang terbuat dari Ubi Kayu untuk mengganti terigu dan bebas gluten/dok : litbang.pertanian.go.id

Di Cimahi (berbasis ubi kayu), Sumedang (berbasis hanjeli), Demak (berbasis sorgum), Palopo, Maluku Tengah, Sorong, dan Jayapura berbasis sagu.

Konsumsi pangan lokal berbasis sagu, jagung, ubi kayu ini perlu terus didorong. Tingginya penyakit degeneratif seperti diabetes terjadi karena konsumsi mie instan, beras atau nasi yang terus meningkat. 

Lanjut ke pangan lokal lainnya, ikan. Ikan teri lokal sangat berlimpah, seperti kata Bu Susi, mantan Menteri KKP. Ikan teri juga relatif terjangkau sebagai sumber protein yang sangat baik. Masih banyak yang memandang sebelah mata pada ikan yang satu ini karena harganya yang murah. 

Ikan teri, kecil bentuknya besar manfaatnya./dok: qupas.id
Ikan teri, kecil bentuknya besar manfaatnya./dok: qupas.id

Dalam 100 gr teri mengandung 500 -- 972 mg kalsium yang diperlukan ibu hamil untuk menjaga kepadatan tulang dan pembentukan janin. Hebat banget kan Selain itu juga ada zat besi tinggi, fosfor, vit. B1, lemak omega 3 yang sangat penting bahkan bagi perkembangan otak balita.

Bahkan omega 3 ikan teri bisa jadi lebih tinggi atau sama dengan ikan salmon, yaitu 2300 - 2400 mg (salmon 1300-2400 mg). Oh iya, yang dimakan di sini ikan teri segar loh ya, bukan ikan teri yang sudah diasinkan.

Ikan kembung juga sumber gizi yang sangat baik. Vitamin D yang terkandung membantu penyerapan kalsium untuk kesehatan tulang dan gigi. Sayangnya, ikan kembung selalu dibandingkan dengan Ikan salmon yang katanya sangat spesial karena kandungan omega 3-nya. Itu yang selalu digembar-gemborkan sebagai keunggulan ikan yang sebagian besar diimpor dari AS ini.

Faktanya, ikan kembung mengandung 2,6 g omega 3 sedangkan salmon hanya 1,4 g. Untuk urusan kandungan Omega 6 dan Omega 9, ikan kembung lebih baik. Catat!.

Ikan Kembung kualitasnya setara Ikan Salmon./dok: Grid.id
Ikan Kembung kualitasnya setara Ikan Salmon./dok: Grid.id
Diakui, citra ikan salmon jauh di atas ikan kembung. Citra kandungan gizi ikan salmon yang jauh di atas ikan-ikan lain, terutama ikan lokal, memang terlanjur menancap kuat di benak masyarakat Indonesia. 

Nah, kalau sumber Karbohidrat sudah, sumber Protein sudah, lalu bagaimana dengan pangan yang mengandung protein nabati?.

Kedelai telah lama dikenal sebagai tanaman pangan yang memiliki kandungan protein tinggi menghasilkan sekitar 35-38 persen kalorinya jika dibandingkan dengan tanaman lain. Kandungan protein pada kedelai  inilah yang membuatnya kerap disebut dengan istilah 'daging tanpa tulang' atau 'daging yang tumbuh di ladang'.

Kacang kedelai, bisa dibuat menjadi berbagi jenis olahan pangan lokal./dok : klikdokter.com
Kacang kedelai, bisa dibuat menjadi berbagi jenis olahan pangan lokal./dok : klikdokter.com
Kandungan serat tinggi pada kedelai mampu mencegah sembelit, menurunkan kolesterol dan bermanfaat bagi penyandang diabetes. Serat pada kedelai juga ternyata bisa memperbaiki kesehatan usus besar.

Sebut saja seperti bahan baku industri makanan yang meliputi produk tempe, tahu, kecap, tauco, dan tepung kedelai, atau bisa juga diolah menjadi beragam jenis makanan ringan seperti misalnya peyek kedelai, camilan kedelai goreng, cake kedelai, susu kedelai, dan lain-lain.

Kedelai bisa diolah menjadi pangan lain./dok: bisnisukm.com
Kedelai bisa diolah menjadi pangan lain./dok: bisnisukm.com

Jadi, kita yang justru masih 'addicted' sama semua jenis pangan lokal ini, berbanggalah. Artinya kita tidak terkontaminasi dengan berbagai jenis olahan makanan impor yang justru kita tidak pernah tahu, seperti apa mereka mengolahnya, atau bagaimana cara mereka membudidayakannya disana.

Nah, ketika gaya hidup kembali ke lokal sudah makin digandrungi, kita sebagai orang Indonesia patut bangga. Tanah kita, tanah yang subur; dengan pilihan pangan yang begitu kaya. Bila bahannya beragam, maka kulinernya pun jadi bervariasi. 

Tidak heran kalau sudah banyak penyuka makan dari berbagai negara yang kini melirik kuliner kita. Bahkan tempe yang oleh sebagian orang masih dianggap makanan pinggiran, justru disulap menjadi makanan berkelas oleh salah satu wanita asal Perancis Ana Larderet. Bahkan oleh salah satu warga lokal Australia, Amita Buissink. 

Cita rasanya yang unik bahkan membuat warga dunia menjuluki tempe sebagai "Magic Food". Di luar negeri harga tempe bahkan bisa delapan kali lebih tinggi daripada di Indonesia. 

Dan lagi, kedelai tidak melulu cuma bisa kamu lihat dan nikmati dalam bentuk sepotong tempe begitu saja. Sudah pernah coba cupcake berbahan dasar kedelai, atau burger dan steak tempe yang kini bisa bersaing jadi sajian berkelas?. Kamu harus coba, buktikan pangan lokal juga bisa berkelas!

Makanan kekinian dari olahan kedelai yaitu Soya cupcake, Burger Tempe, Steak Tempe./dok: selerasa.com
Makanan kekinian dari olahan kedelai yaitu Soya cupcake, Burger Tempe, Steak Tempe./dok: selerasa.com

Ada  tagline kesehatan yang berbunyi "We are what, where, when and how we eat." Rugi sangat kalau mengabaikan pangan lokal yang penuh gizi hanya karena menganggap kuno dan tak kekinian. 

Jika masyarakat luar saja begitu menyukai pangan lokal. Lalu bagaimana dengan kita sendiri?.

***Tim MeatLovers, 

S Gloria, Windu Basuki, Davi Massie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun