Pedagang mengangguk-angguk.Â
   "Itu, lagi mengamati kendaraan bermotor, dan menikmati angin malam ini."
   "He-He-He."
   Kembalinya Agus ke arah kami sempoyongan. Tole menertawainya. Agus terkesan lucu—cuma membawa segelas Wedang Bandrek saja hampir jatuh. Lalu Agus dan Tole kembali ngobrolin sesuatu. Entah, aku tak mendengarkan obrolan mereka.Â
   Selang beberapa menit, mereka menyeru: izin untuk buang air kecil ke samping toko. Aku masih duduk; semula.
   Mereka kembali. Dan, memancing canda padaku. Aku tak meladeni. Aku memilih menikmati pemandangan jalan di malam hari. Lalu mereka ngobrolin musik. Tangan Tole sungkan diam kalau sudah ngobrolin musik. Tangannya memukuli kakinya, layaknya sedang bermain Drum.Â
   Pintu gerbang toko yang berwarna coklat, Tole sandarkan badan belakangnya pada pintu toko itu. Ia menyanyikan lagu dangdut. Aku tengak-tengok ke mukanya.Â
    "Bass Elang, menyebalkan." ungkap Tole, senyum. "Registrasi kartu, malah suruh datang ke kecamatan. Suruh buat KK baru. Aneh," celotehnya dengan mata yang sayup.Â
   Tole kekenyangan. Ia meluruskan tubuhnya; berbaring. "Ngantuk kalau sudah begini," ujarnya. Ia merogoh-rogoh kantong celana belakangnya. Ia mengambil dompet, lalu menyuruh Agus membayar makanan dan Wedang Bandrek yang sudah dimakan dan diminum olehnya.Â
   Sesudah Agus membayar, Tole mengajaku ke Dadap, untuk menyaksikan performance musik temannya: genre Qasidah. Pergilah kami meninggalkan tongkrongan lesehan itu. Tanpa meninggalkan hutang sama pedagang angkringan, Wedang Bandrek.