"Perangku yang paling loyo adalah memperjuangkanmu, Kekasih. Tetapi belum juga ku memilikimu."
   Semilir angin malam mendinginkan badan. Menyelami gelisah, bermenung di malam yang sunyi. Cukuplah angin yang menenangkan kegaduhan jiwa yang tengah kesepian. Kenangan menghantui. Ingatan menyerbui alam pikir.Â
"Bahkan berkali-kali ku mencoba menangkap sukmamu, tetapi tetap saja pergi," renung Sinta di kala keheningan malam.
   Sinta belum juga mengerti. Apa sebabnya dia tidak bisa move on dari mantannya. Padahal, sangat jelas mantannya begitu membencinya. Ia masih mencoba memberikan perhatian. Menanyakan kabar. Bukan malah mendapat terimakasih atau respon yang baik, yang ia dapat adalah celaan dari mantannya. Namun ia menerima celaan itu. Ia tak peduli celaan itu. Ia cuma ingin tahu tentang keberadaan mantannya.Â
"Meski diamku merenung. Tetap saja yang sulit ku tangkap adalah mengapa aku mencintaimu?"Â
   Seorang pria yang membencimu, engkau percaya bahwa ia membencimu. Sebagaimana engkau mempercayai adanya musuhmu. Mungkin engkau lebih mudah melupakan temanmu daripada melupakan musuhmu. Tetapi ketika seorang pria mencintaimu, engkau tidak bisa langsung percaya. Engkau malah menganggapnya bohong, dusta atau bahkan nonsens.
   Mengapa energi cinta tidak cukup kuat menggebuk hatimu? Itu sebabnya reaksimu lebih besar terhadap orang yang membencimu ketimbang yang mencintaimu. Mungkin engkau pernah menganggap bahwa cinta itu murni, tapi tetap saja engkau tidak gampang percaya kepada orang yang mencintaimu. Seolah-olah engkau melupakan anggapanmu sendiri. Di dunia ini engkau lebih banyak melihat kebencian walau banyak orang yang mengatakan cinta.Â
   Cinta seperti basa-basi saja. Palsu. Dan benci adalah orisinal.Â
   Cinta tak perlu diucapkan. Kalau pun diucapkan ia nampak palsu. Bahkan dengan sikap pun, perilaku pun cinta belum dapat dipercaya. Berbeda dengan benci. Engkau cukup bersikap kasar, orang akan menganggapmu benci. Benci lebih ringan untuk ditunjukkan dan terlihat nyata.
"Kurang apa aku, Gih. Aku tulus mencintaimu, Gih. Aku sayang kamu, Gih." ujar Sinta.Â
"Tolong jangan ganggu aku lagi. Dan nggak usah perhatian ma aku lagi. Ngerti!?" ketus Sugih sambil mendorong tubuh Sinta.Â