Berbeda dengan Parmin. Menurutnya, soal putus adalah perkara biasa terjadi dalam hubungan percintaan: ada jadian, ada putus, ada pertemuan, ada perpisahan. Begitulah cinta bekerja. Dan begitu pun adalah pekerjaan alam semesta—membuatkan sejarah manusia. Selain cinta menyenangkan sekaligus menyakitkan. Selain membutakan sekaligus menerangkan: yang gelap terlihat dan yang terang terbuta.
   Cinta adalah kumpulan perasaan: 99% rasanya pahit dan 1% rasanya manis. Apabila yang 1% semakin menipis, maka yang 99% pahit baru bisa dirasakan oleh seseorang.
   Pesanan kopi mereka telah disediakan pelayan. Obrolan itu makin panjang, dan seperti tidak menemui titik temu persoalan mengenai hubungan sahabat mereka, Sinta dan Sugih. Datanglah Sutejo, yang kerap ditunggu-tunggu pendapatnya. Teman-temannya menjelaskan pendapat mereka masing-masing yang sudah dilontarkan sebelum kedatangan, Sutejo.
"Ya. Apa yang dikatakan kalian, semuanya benar. Nggak ada yang salah. Tapi saya menekankan, biarkan Sinta dengan perasaannya, dan biarkan Sugih dengan keputusannya," tukas Sutejo, lalu menyeruput kopinya.
"Betul. Tapi, apakah kita diam saja melihat Sinta menderita oleh perasaannya terus-menerus?" Parto menyoal.
"Iya, Jo. Benar apa kata Parto," samber Parmin.
"Dan, apakah kita tidak segera membujuk Sugih, agar dia mau kembalian lagi dengan Sinta?" Susi mulai bergairah.
"Sepertinya, kita tidak usah membujuk Sugih untuk mau jadian lagi dengan Sinta. Karena cinta tidak bisa dipaksakan," Sapar menyangkal pendapat Susi.
   Hening.Â
   Mereka belum bisa menyimpulkan.
   Tiba-tiba Parmin yang diam-merenung mengagetkan teman-temannya. Sepertinya ia menangkap ide dari alam pikirannya. Dengan PD ia ngoceh. "Sinta dan Sugih lebih baik kita tonton saja. Karena itu takdir," sontaknya.