Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy.
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy. Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Man Jadda Wa Jadda: Siapa Bersungguh-Sungguh Akan Berhasil## **Alloh Akan Membukakan Pintu Terindah Untuk Hambanya yang Sabar, Meskipun Semua Orang Menutupnya**.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontestasi Islam pada Masyarakat Pesisir

6 Juni 2020   05:52 Diperbarui: 6 Juni 2020   05:53 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran islam di public sphere dimaknai oleh Kasinu (2013) sebagai bagian dari ekspresi etika dan kebudayaan. Aksentualisasi simbol-simbol agama dan pembentukan institusi agama (TPQ) pada wilayah publik telah melahirkan kesadaran agama bagi anak dan orang tua. Terbukti, mayoritas orang tua mengijinkan anaknya untuk mengaji di TPA/TPQ, masuk pesantren, madrasah, dan sekolah berbasis agama.

Mushala dan masjid-masijd yang ada di daerah itu, dahulunya sepi jamaah, kini telah ramai dengan si'ar Islam. Islam di daerah Urut Sewu tidak lagi termarjinalkan. 

Hal itu seiring dengan semakin bagusnya sarana transportasi seperti jalan Daendels yang lebar dan beraspal hotmix, menjamurnya motor, jaringan listrik, BTS dan lainnya. Banyak sekali daerah 'merah' yang mendapat kiriman santri dari berbagai pesantren untuk 'ngolahi' warga abangan agar mau ke masjid.

Keterbukaan masyarakat pesisir Urut Sewu yang demikian itu mengundang banyak penyebar agama Islam dari kelompok LDII, Jaulah, NU dan Muhammadiyah untuk bersama-sama melakukan islamisasi secara massif. Semua kelompok itu berhasil membangun komunitasnya masing-masing di daerah itu.

Resistensi dan Negosiasi

Namun, hingga saat ini proses islamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah, NU, LDII, dan Jaulah pun masih terjadi ketegangan terselubung terutama oleh kelompok tua yang ingin melanggengkan 'Islam KTP' mereka yang sangat kental dengan budaya TBC. Sementara itu, kelompok muda lebih bersifat akomodatif.

Kelompok tua tidak ingin meninggalkan sesaji dan berbagai budaya lokal mereka. Mereka selalu ingin menghidupkan ritual budaya mereka. Muhammadiyah dan NU (sebagai kelompok dominan) yang selalu bersama masyarakat, secara istiqamah berusaha mengurangi dengan melakukan berbagai negosiasi.

Selamatan desa dengan 'nanggap wayang' tidak dilakukan tiap tahun. Sawalan dengan melarung sesaji ke laut juga tidak dilakukan tiap tahun. Pemotongan kerbau di bawah pohon besar tidak dilanjutkan dengan penguburan kepala kerbau. 

Dalam seluruh acara itu, tokoh NU dan Muhammadiyah hadir untuk selalu mengingatkan akan keesaan Allah SWT, mengucapkan secara bersama-sama sahadat dan melakukan berbagai doa secara Islami yang lebih banyak dipimpin oleh 'wong' NU.

Negosiasi seperti itulah yang hingga saat ini ditawarkan oleh NU dan Muhammadiyah yang sama-sama membina masyarakat pesisir Urut Sewu. Kedua kelompok dominan itu meyakini bahwa bentuk negosiasi itu dapat dijadikan jalan tengah untuk mengurangi resistensi kelompok Islam abangan (termasuk Aboge) yang selalu bertekad mempertahankan budaya.

*) Dr. Basrowi, lahir, besar, dan meneliti Resistensi Abangan terhadap Kelompok Keagamaan di Daerah Urut Sewu, Kab. Purworejo Jawa Tengah (Dengan Anggota Tim Peneliti Dr. Akhmad Kasinu, M.Pd.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun