Herbal Milik UMKM bukan Industri Farmasi
Ekspor jamu dari Indonesia, terutama jamu yang sudah lolos ijin edarnya, ternyata dapat menembus pasar di berbagai negara belahan dunia. Artinya, jamu sudah dikenal hingga berbagai manca negara, dan mereka percaya akan khasiatnya.
Meskipun di pasaran saat ini masih ada satu dua jamu yang mengandung BKO (berkandungan obat), namun dengan berbagai pendekatan dan persuasi yang telah dilakukan oleh BPOM dan Kemenkes, ke depan diharapkan tidak ada lagi jamu yang berkandungan obat. Herbal is Herbal.
Dengan sifatnya yang demikian, ketika jamu telah dikuasai oleh industri farmasi, maka bukan hanya UMKM yang hancur, tetapi seluruh penjual jamu gendong pun akan terpukul oleh ketidakadilan itu.
Selama 10 tahun lebih penulis meneliti tentang kebijakan publik dan hak kekayaan intelektual tentang Jamu mulai dari Cilacap, Yogyakarta, Wonogiri, hingga Madura seluruhnya mempunyai kekhasan masing-masing.
Sayangnya, mayoritas merek yang mereka gunakan untuk branding belum terdaftar pada Ditjen Kekayaan Intelektual KemenkumHam. Mereka masyoritas membuat merek sendiri, atau agak meniru merek terkenal dengan harapan bisa mendompleng ketenarannya dalam pemasaran.
Semoga dengan adanya wabah Covid-19, memberikan hikmah yang positif bagi jamu, dan dapat menjadi jalan bagi para penjual jamu gendong untuk bisa naik daun. Kini, jamu menemukan identitasnya untuk di-promote, diterima oleh semua kalangan---dari kawula alit hingga kaum elite--dan jamu dapat bergema seantero dunia.Â
*) Dr. Basrowi, pengamat kebijakan publik, alumni S3 Unair, dan S3 UPI YAI Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H