Sunyinya hati, menyadarkan diri, bahwa rutinitas berpeluh keringat tiap hari, sesungguhnya adalah drama kehidupan hakiki yang terjadi karena adanya diferensiasi tersembunyi yang terstrukturisasi.
Kehadiran Covid-19 telah menyembulkan kebutuhan dasar manusia tidak lagi tercukupi. Para birokrat gagap bahkan telah kehilangan fungsi utilitasnya. Mereka banyak yang tiarap tanpa mampu berbuat banyak. Kenyataan pahit dan getir yang dirasakan rakyat telah hening akan makna.Â
Kesadaran reflektif yang seharusnya menjadi lecutan dan ditonjolkan oleh para birokrat berubah menjadi kesadaran semu. Para birokrat menjadi nihil kinerja, termasuk nihil kinerja religinya.
Bualan retorika yang selama ini didengungkan lewat kempanyenya, laksana terbungkam oleh kehadiran corona. Pemberian bantuan yang seharusnya bermakna kemanusiaan justru berubah menjadi penanda kelas yang berparas politisasi.
Secara kontemplatif, di saat ekonomi susah seperti ini, rakyat laksana mengail tanpa umpan. Dalam mengarungi laku hidup fase pengasingan massal yang dtemui hanyalah kesenyapan dan keterjarakan dengan para birokrat. Eksterioritas yang diperlihatkan oleh para birokrat justru menjadi glorifikasi yang menyediakan mimpi tanpa realitas.
Deraan wabah, telah membuat semua rakyat melakukan kekang diri, khidmat di rumah masing-masing agar dapat menyelami makna hakiki akan pentingnya berbuat baik antar sesama, agar tidak mati gaya.
Rantai corona menutup semua akses kehidupan, bahkan telah membelenggu semua roda ekonomi, roda industri dan roda liberalisasi. Korona hadir menggilas kepongahan para kapitalis. Corona telah berhasil melakukan preskripsi terhadap hasrat para penguasa.Â
Sudah saatnya mulai hari ini kita melakukan refleksi dan restrukturisasi ekonomi. Jangan sampai, semua kemajuan teknologi yang tersistem dibongkar dan dirampungkan oleh Corona.Â
Sudah saatnya kita saling menguatkan satu sama lain tanpa melihat status sosial melalui segenap aktivitas yang substansial agar tragedi ini segera terhenti. Jangan sampai apa yang kita lakukan dalam ruang sunyi menyendiri berbuah sia-sia tiada arti.
Hari ini kita melihat bahwa pandemi telah mampu menghadirkan sifat kemandirian dan sifat kompromi bahwa penderitaanmu berarti deritaku. Corona telah menjadi pendulum zaman akan pendedahan dan penggembaraan jiwa yang penuh derita. Keintiman untuk bekerja sama sesama manusia dalam panggung sejarah dilakukan dalam rangka pemenuhan nilai dan pendisiplinan hasrat untuk meluruhkan dan memetik hikmah untuk mengerem keinginan duniawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H