Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy.
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy. Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Man Jadda Wa Jadda: Siapa Bersungguh-Sungguh Akan Berhasil## **Alloh Akan Membukakan Pintu Terindah Untuk Hambanya yang Sabar, Meskipun Semua Orang Menutupnya**.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Sekolah Ramah Anak

1 Maret 2020   09:56 Diperbarui: 1 Maret 2020   11:17 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Dr. Dr. Basrowi*

Islam jauh-jauh hari telah melarang dengan keras praktik saling mengolok-olok (Bullying) karena mempunyai dampak yang sangat besar termasuk bisa menyebabkan orang melakukan bunuh diri.

Kenyataan sosial siswa bunuh diri dari lantai empat di salah satu SMP di Ciracas Jakarta Timur pada Selasa (4/1/2020) membuka mata banyak pihak bahwa upaya untuk menciptakan angka zero bunuh diri pada kalangan siswa sangat penting untuk dilakukan. Banyak ahli telah menganalisis fenomena suicide dari berbagai latar belakang keilmuan mulai dari agama, psikologi, kedokteran, sosiologi, dan keilmuan terkait lainnya, yang semuanya menyimpulkan bahwa, banyak sekali faktor yang melatarbelakangi penyebab bunuh diri pada siswa.

Siswa yang bunuh diri tersebut ditengarai tengah diolok-olok (dibully) oleh temen-temennya hingga menyebabkan depresi yang sangat dalam. Mereka menganggap bahwa dirinya tidak bisa diterima (di-reject) oleh lingkungan teman sebayanya. Kegagalan adaptasi dengan lingkungan sosialnya menyebabkan dia trauma, impulsive, depresi, hopeless, dan merasa aloneness. Oleh karena itu, kondisi anak yang demikian membutuhkan empathy dari semua pihak baik orang tua, kiyai, ustadz/ustadzah, guru mengaji, guru di sekolah, dan teman dekatnya. Empathy tersebut dapat dijadikan obat atas trauma mereka.  

Dalam Islam, larangan saling memperolok, sangat jelas seperti pada surah al-Hujarat ayat 11, yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman,  janganlah satu kaum memperolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (ang diperolok-olok) lebih baik dari merena (yang memperolok-olok)..."

Larangan Bunuh Diri

Allah WST secara tegas telah melarang tindakan bunuh diri. Surah an-Nisa' ayat 29 yang artinya, "Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu." Larangan itu tertuang juga dalam surah an-Nisa' ayat 30. "Adalah dosa besar melakukan Bunuh diri, karena hanya Allah SWt-lah yang berhak mengambi kehidupan yang telah Dia berikan." 

Dalam hadits yang diriwiayatkan oleh Bukhari dan Muslin, dari Ad-Dahak disebutkan, "Barang siapa terjun dari sebuah bukit untuk menewaskan dirinya, maka ia akan masuk neraka dalam keadaan terlempat jasadnya. Ia kekal dalam neraka selama-samanya." Juga diriwayatkan, "Barang siapa yang meneguk racun dan racun itu menewaskan dirinya, maka racun itu akan tetap dalam genggaman tangannya sambal menegukkan di dalam neraka jahanam. Ia juga kekal di dalamnya selama-lamanya." 

Penyebab Bunuh Diri

Peneliti ilmu sosial Emile Durkheim sebagai salah satu tokoh sosiologi klasik yang sangat terkenal dengan teori bunuh dirinya, menulis sebuah buku 'Suicide'. Durkheim menyimpulkan bahwa penyebab utama bunuh dini karena adanya ekstra sosial, antara lain: organik psikis disposisi (depresi yang ekstrim), halusinasi dengan tingkat kesadaran yang rendah, keterasingan mental, kegilaan parsial, gejolak emosi, ketidakbahagiaan, imitasi atau meniru tindakan orang lain, rasa cemas dan gelisah yang akut, altruistic, tidak adanya kohesi sosial, dan disintegrasi dalam kelompok.

Secara teoritik, sedikitnya ada empat penyebab yang melatarbelakangi seseorang melakukan suicide yaitu belongingness, beratnya beban hidup, aloneness, dan hopeless. Hasil penelitian Dokter Spesialis Jiwa Nova Riyanti Yusuf (2018) yang melibatkan 910 pelajar SMA di Jakarta dengan menggunakan empat dimensi di atas menemukan bahwa ada sebanyak 13,9% anak siswa SMP yang terdeteksi beresiko bunuh diri.  

Mereka ini berpotensi 5,39 kalii lipat lebih besar mempunyai ide bunuh diri dibandingkan siswa yang tidak terdeteksi beresiko. Dari 13,9% tersebut, yang benar-benar ingin bunuh diri dalam 1 bulan terakhir ada 5%. Mereka yang masuk 5% inilah yang benar-benar perlu mendapat perhatian dan penanganan serius.

Strategi Penanganan Kasus Bunuh Diri

Untuk penanganan kasus suicide tersebut, perlu penanganan lintas sektor dan lintas elemen. Pihak keluarga merupakan peletak pondasi yang paling utama dalam memperkokoh kadar keimanan dan kekuatan psikologi anak untuk bisa tahan terhadap berbagai bully yang dilakukan oleh orang lain (temen-temennya). Ketika pondasi agama dan psikologi siswa yang dibangun dari dalam keluarga kuat, maka meskipun ada topan, banjir atau badai yang menghantam anak, maka kondisi keimanan dan psikologis anak akan tetap tenang.

Pihak sekolah, dalam hal ini guru agama dan guru bimbingan dan konseling, mempunyai peran yang sangat vital. Keberadaannya bukan hanya sebagai guru agama dan guru bimbingan karir, sementara fungsi penanaman aqidah dan fungsi konseling terabaikan. Dalam hal ini, baik orang tua maupun guru agama, termasuk guru BK tidak boleh absen dalam memberikan empati kepada seluruh siswa. Bahaya dan dampak negatif yang sangat besar atas tindakan olok-olok (bullying) menyebabkan terjadinya trauma, sehingga kekuatan aqidah dan mental siswa terkikis. Hal inilah yang dikhawatirkan mengarah pada perbuatan suicide.  

Anak usia SMP, dalam rentang usia (13-15 tahun), dapat dikatakan masih tanggung, hendak dikategorikan sebagai anak-anak, bukan. Hendak dikategori sebagai orang dewasa juga bukan. Dengan kondisi yang demikian setiap ada permasalahan padanya, seoalah-olah menjadi beban psikologis yang berat. Anak menjadi sakit secara mental. Dalam kondisi seperti itu, akan muncul ide aneh-aneh, termasuk upaya melakukan suicide. Oleh karena itu, harus ada orang dekat yang dapat dijadikan teman curhat, sehingga mereka merasa ada penerimaan dari lingkungannya. Ketika mereka tidak ditolong dalam bentuk pemberian muatan aqidah dan empathy, maka aqidah dan mental mereka akan semakin ringkih, dan mereka akan bingung karena tidak tahu harus bagaimana dan harus berbuat apa untuk mengatasi permasalahannya.

Dalam hal ini perlu digalakkan secara terus menerus pentingnya membangun "sekolah ramah anak" (SRA), dengan ciri-ciri,  tidak ada bullying, tidak ada pelecehan, dan anak mudah untuk melakukan curhat kepada guru wali kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling, termasuk kepada kepala sekolah. Jangan sampai ketika ada anak yang mengadu untuk melaporkan berbagai bullying yang dialami, sekolah mengacuhkan. Seolah-olah kasusnya tidak dianggap serius. Bahkan sekolah tidak peduli, atau bahkan tidak percaya. Dengan kondisi seperti itu, anak menjadi bingung, mau mengadu kepada siapa lagi?

Success story yang sudah dilakukan oleh Kementerian Pememberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA) dengan membentuk sekolah ramah anak (SRA) dan program peningkatan hak partisipasi anak, sebagaimana dijelaskan di atas, juga diikuti oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kemendes mempunyai program life skill training yang dapat memberikan dan meningkatkan jati diri, kepercayaan diri, kompetensi diri, sehingga anak mempunyai jiwa adversity (tahan banting) yang tinggi dengan ciri tidak mudah menyerah atau putus asa, punya kepercayaan diri yang tinggi, tidak cengeng, dan mandiri.

Langkah yang Perlu diambil 

Roadmap atau cetak biru strategi penanggulangan bahaya bullying di sekolah hingga saat ini belum menjadi arus utama Kemendikbud. Target penurunan angka suicide pada anak belum  menjadi program prioritas. Dengan banyaknya kasus bunuh diri pada siswa, cetak biru penurunan gagasan untuk melakukan suicide harus menjadi program unggulan dan harus segera diwujudkan manakala menghendaki kasus bunuh diri seperti anak SMP di Jakarta Timur tidak terulang kembali.

Kementerian Agama, juga diharapkan mempunyai program unggulan untuk menurunkan gagasan bunuh diri pada anak sekolah. Peningkatan religiusitas diharapkan dapat mempertebal keimanan dan control diri. Stress siswa dengan banyaknya tugas-tugas dari seluruh guru mata pelajaran, ditambah lagi dengan gangguan bullying, menjadikan beban psikologis yang ditanggung siswa menjadi semakin berat. 

Manakala rasa ketersedirian (aloneness) menguat, disertai dengan perasaan hopeless yang tinggi, apalagi penerimaan lingkungan rejected, maka tingkat religiusitas menjadi keeper terakhir yang dapat mencegah terjadinya bunuh diri. Tingkat religiusitas yang tinggi juga mampu membentuk konsep diri yang stabil, tidak mudah goyah, tidak mudah depresi.

Program lintas elemen lainnya juga telah digagas oleh WHO dengan menetapkan tanggal 10 September sebagai hari Pencegahan Bunuh diri Sedunia. WHO menekankan pentingnya pola asuh anak, agar anak tidak suka mem-bully, tidak mudah depresi karena di-bully, dan berbagai program pemulihan lainnya dalam rangka memenuhi hak anak. Kecemasan yang tinggi, penyalahgunaan zat aditif, rasa bersalah yang tinggi, penyesalan yang hebat, trauma pelecehan, terlibat dalam perilaku beresiko (impulsive), semakin isolative, tidak memiliki emosi senang, dan selalu merahasiakan perasaan menurut WHO perlu mendapat pertolongan dalam bentuk care dan  empathy dari semua pihak terutama orang-orang terdekat.

Ketergantungan dan penyalahgunaan akses internet (menggunakan judged yang berlebihan) serta banyaknya informasi tentang suicide yang menjerumuskan, juga menjadi penyebab munculnya ide-ide negatif yang perlu ditolong. Apalagi tingginya ketimpangan antara expectation dan realitas juga memicu terpaparnya ide-ide perilaku bunuh diri.

Dengan demikian, pola pikir abstak yang menimbulkan perilaku risk-taker, termasuk perilaku agresif dan impulsive, serta lingkungan sosial yang tidak mendukung, harus dikendalikan secara dini agar remaja tidak mempunyai alasan ide bunuh diri.

Islam melarang umatnya menghindari atau lari dari masalah. "Dan Sungguh, akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orng yang sabar (QS. al-Baqarah [2]: 155). "Dan mintakah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyul (QS. Al_baqarah [2]:45

Sebagaimana diketahui, tingkat integrasi masyarakat yang kokoh serta terbangunnya kohesi / ikatan sosial yang kuat akan mampu mengurangi ide-ide bunuh diri siswa. Kondisi altruistik, terpisah dari masyarakatnya (ketersendirian) juga menyebabkan tidak adanya hambatan untuk melakukan bunuh diri.  Rekomendasi untuk pemerintah, perlunya me-rejuvenasi kembali Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), konselor sebaya, rapor kesehatanku, UKS, Pos Kesehatan Pesantren (PKP), Program Kesehatan Jiwa Berbasis Sekolah (PKJBS), dan jalur hotline service untuk kasus konseling bunuh diri, sehingga curhat anak menjadi gamblang, mengingat bunuh diri itu sangat dekat dengan anak. Semoga anak-cucu kita terjauhkan dari niatan dan tindakan bunuh diri.

Islam mengajarkan kepada kita semua, bahwa kita harus mampu menjaga diri dan keluarga dari kemungkinan terseret ke neraka. Maka kita wajib berusaha agar diri dan keluarga terjauhkan dari pikiran untuk melakukan bunuh diri sebagai pilihan mengakhiri hidupnya, meskipun menghadapi masalah yang super berat. aamiin.

*) Dr. Dr. Basrowi, Pengamat Kebijakan Publik, Pengarang Buku Sosiologi Pendidikan, alumnus S3 ilmu sosial Unair dan S3 MSDM UPI YAI Jakarta, dan tengah mengambil Magister Ekonomi Islam di PPS UIN Raden Intan Lampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun