Mereka ini berpotensi 5,39 kalii lipat lebih besar mempunyai ide bunuh diri dibandingkan siswa yang tidak terdeteksi beresiko. Dari 13,9% tersebut, yang benar-benar ingin bunuh diri dalam 1 bulan terakhir ada 5%. Mereka yang masuk 5% inilah yang benar-benar perlu mendapat perhatian dan penanganan serius.
Strategi Penanganan Kasus Bunuh Diri
Untuk penanganan kasus suicide tersebut, perlu penanganan lintas sektor dan lintas elemen. Pihak keluarga merupakan peletak pondasi yang paling utama dalam memperkokoh kadar keimanan dan kekuatan psikologi anak untuk bisa tahan terhadap berbagai bully yang dilakukan oleh orang lain (temen-temennya). Ketika pondasi agama dan psikologi siswa yang dibangun dari dalam keluarga kuat, maka meskipun ada topan, banjir atau badai yang menghantam anak, maka kondisi keimanan dan psikologis anak akan tetap tenang.
Pihak sekolah, dalam hal ini guru agama dan guru bimbingan dan konseling, mempunyai peran yang sangat vital. Keberadaannya bukan hanya sebagai guru agama dan guru bimbingan karir, sementara fungsi penanaman aqidah dan fungsi konseling terabaikan. Dalam hal ini, baik orang tua maupun guru agama, termasuk guru BK tidak boleh absen dalam memberikan empati kepada seluruh siswa. Bahaya dan dampak negatif yang sangat besar atas tindakan olok-olok (bullying) menyebabkan terjadinya trauma, sehingga kekuatan aqidah dan mental siswa terkikis. Hal inilah yang dikhawatirkan mengarah pada perbuatan suicide. Â
Anak usia SMP, dalam rentang usia (13-15 tahun), dapat dikatakan masih tanggung, hendak dikategorikan sebagai anak-anak, bukan. Hendak dikategori sebagai orang dewasa juga bukan. Dengan kondisi yang demikian setiap ada permasalahan padanya, seoalah-olah menjadi beban psikologis yang berat. Anak menjadi sakit secara mental. Dalam kondisi seperti itu, akan muncul ide aneh-aneh, termasuk upaya melakukan suicide. Oleh karena itu, harus ada orang dekat yang dapat dijadikan teman curhat, sehingga mereka merasa ada penerimaan dari lingkungannya. Ketika mereka tidak ditolong dalam bentuk pemberian muatan aqidah dan empathy, maka aqidah dan mental mereka akan semakin ringkih, dan mereka akan bingung karena tidak tahu harus bagaimana dan harus berbuat apa untuk mengatasi permasalahannya.
Dalam hal ini perlu digalakkan secara terus menerus pentingnya membangun "sekolah ramah anak" (SRA), dengan ciri-ciri, Â tidak ada bullying, tidak ada pelecehan, dan anak mudah untuk melakukan curhat kepada guru wali kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling, termasuk kepada kepala sekolah. Jangan sampai ketika ada anak yang mengadu untuk melaporkan berbagai bullying yang dialami, sekolah mengacuhkan. Seolah-olah kasusnya tidak dianggap serius. Bahkan sekolah tidak peduli, atau bahkan tidak percaya. Dengan kondisi seperti itu, anak menjadi bingung, mau mengadu kepada siapa lagi?
Success story yang sudah dilakukan oleh Kementerian Pememberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA) dengan membentuk sekolah ramah anak (SRA) dan program peningkatan hak partisipasi anak, sebagaimana dijelaskan di atas, juga diikuti oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kemendes mempunyai program life skill training yang dapat memberikan dan meningkatkan jati diri, kepercayaan diri, kompetensi diri, sehingga anak mempunyai jiwa adversity (tahan banting) yang tinggi dengan ciri tidak mudah menyerah atau putus asa, punya kepercayaan diri yang tinggi, tidak cengeng, dan mandiri.
Langkah yang Perlu diambilÂ
Roadmap atau cetak biru strategi penanggulangan bahaya bullying di sekolah hingga saat ini belum menjadi arus utama Kemendikbud. Target penurunan angka suicide pada anak belum  menjadi program prioritas. Dengan banyaknya kasus bunuh diri pada siswa, cetak biru penurunan gagasan untuk melakukan suicide harus menjadi program unggulan dan harus segera diwujudkan manakala menghendaki kasus bunuh diri seperti anak SMP di Jakarta Timur tidak terulang kembali.
Kementerian Agama, juga diharapkan mempunyai program unggulan untuk menurunkan gagasan bunuh diri pada anak sekolah. Peningkatan religiusitas diharapkan dapat mempertebal keimanan dan control diri. Stress siswa dengan banyaknya tugas-tugas dari seluruh guru mata pelajaran, ditambah lagi dengan gangguan bullying, menjadikan beban psikologis yang ditanggung siswa menjadi semakin berat.Â
Manakala rasa ketersedirian (aloneness) menguat, disertai dengan perasaan hopeless yang tinggi, apalagi penerimaan lingkungan rejected, maka tingkat religiusitas menjadi keeper terakhir yang dapat mencegah terjadinya bunuh diri. Tingkat religiusitas yang tinggi juga mampu membentuk konsep diri yang stabil, tidak mudah goyah, tidak mudah depresi.