Kemudian pada beberapa kesempatan, massa aksi sempat ditembaki gas air mata oleh polisi dengan harapan agar massa aksi membubarkan diri. tak berselang lama, aksi yang awalnya damai berubah mencekam dibeberapa tempat tadi. aparat mulai melakukan pergerakan dengan menembakan gas air mata dan beberapa tindakan lainnya.Â
Hal yang sama terjadi juga dikawasan Patung Kuda, Harmoni, Gambir, dan Bundaran HI yang merupakan tempat paling rusuh pada saat itu dibuktikan dengan rusaknya dan terbakarnya halte dan pos polisi disana.Â
Akibat kejadian tersebut, sorotan publik mengarah kepada mahasiswa sebagai penggerak aksi nasional yang katanya demokratis tapi menjadi anarkis, sebagai mahasiswa yang saat itu hadir pasti tidak akan percaya jika pelaku dari kejadian itu adalah mahasiswa, tapi ada oknum yang ingin mengambil keuntungan dari aksi nasional tersebut.
Demontrasi pada hari itu bukan bagian dari Demokrasi lagi di mata masyarakat yang ditandai dengan pengrusakan fasilitas umum oleh "si oknum".Â
Saat ini demokrasi hanya seputar Pemilu, layaknya benalu. Padahal demokrasi itu sangat luas maknanya yang memayungi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan semua aspek kehidupan berada dibawah payung demokrasi dan semua itu diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Â
Demokrasi itu adalah kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum dan untuk melindungi hak-hak warga negara, demokrasi itu termasuk kritik dan di-kritik, dan Demonstrasi adalah anak kandung dari Demokrasi.Â
Ungkapan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menyiratkan jika negara ini adalah milik rakyat.
Terakhir adalah kutipan pak Wiji Thukul sebagai penutup tulisan iniÂ
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H