Mohon tunggu...
Basri Muhammad Ridwan Sangadji
Basri Muhammad Ridwan Sangadji Mohon Tunggu... Penulis - bukan aktivis

Perjalanan menuju dan meraih dunia baru (masa depan) memang berat.tapi yakinlah dengan usaha yang keras pasti akan sampai pada tujuanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demonstrasi dan Demokrasi

26 Oktober 2020   21:51 Diperbarui: 27 Oktober 2020   10:49 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan"

Sebuah pernyataan yang lugas tapi berani dari kawan Soe Hok Gie yang secara gamblang menentang manusia yang munafik.

Manusia berdasarkan sejarah perjalanannya adalah senjata paling ampuh yang ditakuti oleh kekuasaan, meskipun kekuasaan itu diampu oleh manusia juga. 

Hal itu merupakan pesan tersirat akan adanya oposisi mutlak diantara kekuasaan dan pengampunya. Disini saya ingin menyoroti beberapa aksi demonstrasi atau unjuk rasa yang terjadi dihampir seluruh wilayah tanah air sebagai bentuk dari kemarahan oposisi mutlak tadi terhadap para pemangku kekuasaan.

Semua berawal dari ketukan palu kilat nan cepat oleh wakil rakyat. Tanggal 5 Oktober akan dikenang menjadi hari ditiupkannya sangkakala yang membuat sebagian rakyat mulai menyerukan perlawanan untuk merebut kembali keabsahan dari demokrasi. 

Karena pada hari tersebut DPR telah memfinalkan atau mensahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang membawahi beberapa kluster seperti Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M, Dukungan Riset dan Inovasi, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi. 

Yang kemudian oleh sebagian elemen masyarakat menentangnya karena alasan tidak transparan dalam pembuatannya, tidak ada demokrasi dalam pembuatannya, dan tidak ada legitimasi karena banyaknya penentangan.

Tidak lama setelah disahkannya UU Omnibus Law oleh DPR, terlihat serikat buruh, mahasiswa, pelajar, dan elemen masyarakat dibeberapa daerah mulai bergerak untuk menyerukan penolakan mereka terhadap karya dadakan DPR tersebut. 

Massa aksi bergerak menuju gedung DPRD di daerah mereka seperti Malang, Jember, Surabaya, Jogjakarta, Makasar, Jambi, Medan, Maluku dan lain-lain. Mereka bergerak sembari menyuarakan slogan dan jargon mereka seperti "Jegal sampai Gagal" atau "batalkan UU Omnibus Law". 

Massa aksi yang didominasi oleh serikat buruh dan mahasiswa membawa beberapa tuntutan yang inti tuntutannya adalah mendesak agar UU Omnibus dicabut dari prolegnas, dan Mendorong serta mendesak Presiden untuk membuat Perppu terkait hal tersebut. 

Puncaknya pada tanggal 8 Oktober 2020, melalui komando BEM-SI akan dilakukan aksi nasional di Jakarta. Pada aksi tersebut, massa aksi yang tersebar dibeberapa tempat seperti kawasan Patung Kuda, Harmoni, Gambir, Bundaran HI sempat dihadang oleh aparat pengamanan yang mencoba menghalau agar massa aksi tidak sampai di Istana Merdeka. 

Kemudian pada beberapa kesempatan, massa aksi sempat ditembaki gas air mata oleh polisi dengan harapan agar massa aksi membubarkan diri. tak berselang lama, aksi yang awalnya damai berubah mencekam dibeberapa tempat tadi. aparat mulai melakukan pergerakan dengan menembakan gas air mata dan beberapa tindakan lainnya. 

Hal yang sama terjadi juga dikawasan Patung Kuda, Harmoni, Gambir, dan Bundaran HI yang merupakan tempat paling rusuh pada saat itu dibuktikan dengan rusaknya dan terbakarnya halte dan pos polisi disana. 

Akibat kejadian tersebut, sorotan publik mengarah kepada mahasiswa sebagai penggerak aksi nasional yang katanya demokratis tapi menjadi anarkis, sebagai mahasiswa yang saat itu hadir pasti tidak akan percaya jika pelaku dari kejadian itu adalah mahasiswa, tapi ada oknum yang ingin mengambil keuntungan dari aksi nasional tersebut.

Demontrasi pada hari itu bukan bagian dari Demokrasi lagi di mata masyarakat yang ditandai dengan pengrusakan fasilitas umum oleh "si oknum". 

Saat ini demokrasi hanya seputar Pemilu, layaknya benalu. Padahal demokrasi itu sangat luas maknanya yang memayungi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan semua aspek kehidupan berada dibawah payung demokrasi dan semua itu diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Demokrasi itu adalah kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum dan untuk melindungi hak-hak warga negara, demokrasi itu termasuk kritik dan di-kritik, dan Demonstrasi adalah anak kandung dari Demokrasi. 

Ungkapan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menyiratkan jika negara ini adalah milik rakyat.

Terakhir adalah kutipan pak Wiji Thukul sebagai penutup tulisan ini 

"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun