Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangkitlah Mahasiswa Indonesia

6 April 2022   10:42 Diperbarui: 6 April 2022   10:52 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kawan menghubungi. Basa basi. Kemudian terlibat diskusi. Dia bertanya tentang mahasiswa Makassar. Kondisi terkini, katanya. Saya tertawa. Cukup terbahak. Dia seperti bingung. Atas respon saya. Tiba-tiba. Seperti tanpa berpikir.

Barangkali, itu blink. Kemampun berpikir tanpa berpikir. Seperti kata Malcolm Gladwell. Logika saya tetiba bengkok. Begitu saja, terlintas. Lalu tertawa. Dua peristiwa; masa lalu dan terkini. Tentang mahasiswa Makassar.

Dulu, mahasiswa Makassar menjaga dan menghidupkan api. Bahkan, mengobarkannya. Tentang kerakyatan. Mereka di depan. Dada adalah tameng. Kata adalah senjata. Isi otak adalah peluru. Selalu siap diledakkan. Diarahkan kepada pemangku kebijakan. Diberondong. Jika diperlukan.

Intinya, mereka tidak kosong. Memang kadang terbentur. Juga kadang dibenturkan. Oleh aparat. Tapi tidak apa. Bukankah itu lebih baik. Daripada diam; melihat penindasan. Seperti kelompok Cipayung Plus itu-- Nyusu kepada kekuasaan. Taek.

Jika sudah bergerak. Tidak sedikit darah bercucuran. Gas air mata; itu bukan apa-apa. Kena sweeping juga tidak masalah. Ditangkap lalu dipenjara. Sudah biasa. Saya bersaksi atas itu. Beberapa senior dulu, rela. Demi menjegal BBM naik.

Kondisi terkini. Terlalu banyak euforia. Rasa-rasanya hanya begitu. Musyawarah ke pengkaderan. Bazar ke diskusi buku. Pada akhirnya, nol aksi. Mungkin mahasiswa terlampau nyaman. Maklum, kampus sudah ber-AC. Wifi dimana-mana; akses tiktok dan IG. Atau game online. Itu lebih menarik.

Suatu waktu. Saya bertemu sekelompok mahasiswa. Menawarkan panggung besar. Sudah nasional. Tidak rumit. Jika tidak mampu orasi. Cukup berdiri. Pakai payung hitam. Isunya soal HAM. Kabarnya? Tidak ada. Usang dimakan waktu. Mungkin mereka takut. Entahlah.

Akhir Maret lalu. BEM SI memberi sedikit harapan. Isu perpanjangan masa jabatan presiden itu sungguh bangsat. Sudah waktunya pelaku teror konstitusi itu diberi pelajaran. Lagian, semua harga pada naik. Para bandit oligarki sungguh liar. Dan menikmati paling banyak. Lagian, bukan tidak mungkin mereka dibungkam.

Buktinya ada. Di Swedia dan Norwegia. Sekitar tahun 1930-an. Warga berhasil tumbangkan kaum oligarki. Perjuangan warga Swedia dan Norwegia sangat apik. Ditulis oleh George Lakey. Atau melalui film. Dibuat dan diproduksi oleh Bo Widerberg. Film "Adalen 31" dibuat tahun 1969.

Karena itu, gerakan BEM SI. Harus diasah agar lebih tajam. Keterlibatan BEM kampus di daerah sangat diperlukan. Termasuk di Makassar. Sekali lagi, saya ingin menyaksikan. Bagaimana anak-anak Makassar bergerak; demi rakyat. Jika rakyat Swedia dan Norwegia mampu. Kenapa kalian tidak.

Memang Makassar tidak lagi di depan. Tidak soal itu. Barangkali, waktunya bukan hari ini. Bisa jadi besok. Terpenting bangkit dari kematian-- mati suri. Tuntutan sudah jelas. Waktu sudah jelas. Sisa eksekusi. Banyak keresahan yang mesti diatasi.

Ibu-ibu putar otak berkali-kali. Demi api tetap menyala di dapur. Harga-harga naik berkali lipat. Gula, tepung, minyak goreng, gas dan lain-lain. Kemarin ibu-ibu diminta merebus. It's okey. Tapi gimana mau merebus jika api kompor tak menyala. Ibu di rumah mengabarkan.

Bapak-bapak juga. Kopi tak senikmat kemarin. Jatah gula dikurangin. Kerjaan juga pada macet. BBM naik--pekerja informal pusing. Para ojek online kegetiran. Kasian. Belum lagi keluhan istri. Bakso keliling andalan, hingga jajanan pasar ikut naik. Teman Ojol mengabarkan.

Para petani, apalagi. Pupuk naik berkali-kali lipat. Pupuk subsidi dibatasi. Itu pun jika ada-- gimana tanaman mau tumbuh. Lalu berbuah maksimal-- kasian. Belum lagi, hama juga menyerang. Tampa ampun. Mau diatasi, pestisida lonjaknya tak kira-kira. Bapak di kampung mengabarkan.

Nelayan tak dapat melaut. Solar langka. Mungkin juga disengaja. Jika sudah begitu. Dan terlampau lama. Harga mahal dibeli juga. Tidak ada pilihan lain. Belum lagi laut ditimbun. Solar ditambah lagi-- jarak bibir pantai ke penangkapan ikan. Syukur jika ada tangkapan. Jika tidak ada. Mampus. Seorang nelayan mengabarkan.

Tidak tahu malu. Mereka-- para oligarki-- di sekitar Presiden. Mau tiga periode. Katanya, ada data--110 juta pengguna internet. Mau tunda pemilu. Diminta datanya, mingkem. Banyak alasan. Belum lagi para ketua partai. Bangcad memang.

Maka sudah benar. BEM SI turun aksi. Tanggal 11 April ini. Perkuat konsolidasi. Perkuat mental. Jangan ditunggangi. Kecuali rakyat seluruh Indonesia. Bergeraklah! Majulah! Teguhlah!

#akumencintaimu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun