Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mayoritarianisme dan Kekerasan di India

1 Maret 2020   20:59 Diperbarui: 2 Maret 2020   19:57 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstran berunjuk rasa menolak UU Kewarganegaraan Baru di New Delhi, India, Senin (24/2/2020). (DANISH SIDDIQUI via kompas.com)

Mayoritarianisme merupakan sebuah penerimaan atas pemahaman bahwa jumlah secara kuantitas pada sebuah kelompok adalah pengaruh. Teori ini dinilai sebagai teori yang sangat klasik yang kemudian dijelaskan oleh A Przeworski dan JM Maravall dan sebuah buktu Democracy and the Rule of Law.

Dalam perjalanan negara ini, pada dasarnya hal ini pernah melanda Indonesia pada masa orde baru yang juga penuh dengan anarkisme dan premanisme oleh pemerintah sendiri. 

Akan tetapi kemudian runtuh dan rontok ketika pandangan ini mulai dikritik habis-habisan oleh pandangan demokrasi sehingga terjadi reformasi pada tahun 1998.

Oleh karena itu, ketika teori mayoritarianisme ini kembali dihidupkan di India, aksi anarkisme yang berakhir dengan pembunuhan puluhan muslim di India oleh para penganut paham hindu garis keras yang bernama Hindutva adalah sebuah kejahatan kemanusiaan sudah dapat diprediksi sebelumnya.

Tapi tentu saja apa yang terjadi di India hari ini menjadi preseden buruk bagi negara sekelas India yang memiliki tokoh besar seperti Mahatma Gandhi yang memperjuangkan atau mendeklarasikan perjuangan tanpa kekerasan yang membuatnya dikenal dan dikenang diseluruh dunia.

Kebiadaban manusia kepada manusia di India adalah contoh yang mencerminkan tentang peluang manusia menjadi buas melebihi kebuasan hewan liar. Kebiadaban yang hanya melahirkan kebencian. Dan kebencian yang meleburkan pikiran dan perasaan tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya.

Pembantaian dan penghilangan paksa jiwa manusia dengan sorotan media, aparat, dan negara adalah sebuah penindasan nurani. Ia telah melebihi kejamnya penindasan suku, etnis, agama, pada berbagai negara yang juga pernah mengalaminya. Penindasan yang tidak sekadar lewat pada beranda media sosial dan media mainstrem.

Sebab segala lekukan kayu, lekingan besi, bongkahan batu, auman kemarahan api akan melekat pada lobus frontalis di dalam kepala manusia-manusia di seluruh dunia. Menembus dinding waktu dan menjadi bagian dari kekelaman dan kekalahan manusia oleh dirinya sendiri pada awal tahun 2020. Ini sungguh miris.

Hal lain yang menarik ditelisik dari kejadian ini adalah bagaimana orang mengaitkan antara mayoritas dan minoritas agama di India. Perlu diketahui bahwa sejak era Gandhi hal ini juga menjadi sebuah permasalah ketika itu. Yang kemudian membuat Gandhi dibunuh pada Januari 1948.

Tapi pada tahun yang sama dengan kematian Gandhi yakni pada 10 Desember 1948 dilakukan deklarasi universal Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Declaration of Human Rights yang diadopsi oleh PBB di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution.

Deklarasi yang berisi 30 pasal itu pada akhirnya mengembalikan kemanusiaan setelah perang dan kekerasan berkepanjangan. Akan tetapi, pada prakteknya memang Universal Declaration of Human Rights tidak menjangkau secara keseluruhan ummat manusia pada berbagai negara dengan segala kompleksitasnya, termasuk Indonesia. Tapi ini tetap perlu untuk diapresiasi.

Kembali kepermasalahan, yang sulit untuk dihindari adalah ditariknya kekejian di India secara serampangan ke negeri Indonesia yang antah berantah ini. 

Dengan segala cocologi yang ada, kemudian berkembang pada sejumlah platform media sosial bahwa Indonesia harus belajar dari India atas kejadian ini. Sungguh menggelikan.

Salah satu tokoh yang cukup berpengaruh juga tak lepas untuk tidak berkomentar. Bahkan sempat menjelaskan teori mayoritarianisme. Dia adalah Yenny Wahid. Hal itu saya dapatkan dalam sebuah cuitan twitter dan dimana ia menjelaskan bagaimana penggambarannya tentang mayoritarianisme di India.

Cutitannya begini "Mayoritarianisme di India muncul dalam bentuk UU Kewarganegaraan yang mendiskriminasi warga muslim India. Akibatnya muncul protes penolakan. Berujung kekerasan terhadap warga Muslim India. Mayoritarianisme tidak selalu=kekerasan. Itu dampak paling parah"

Dan secara sadar aku membalas cuitan itu "Mayoritarianisme itu jangan disamaratakan Mbak. Ingat, ada lingkungan sosial dan geografi hingga sejarah juga berpengaruh loh. Jangan dibutakan sama mayoritarianisme bahwa semua situasi dan kondisinya sama. Mba tentu ingat surat menyurat Bung Pram dan Bung Gunawan soal pemaafan pelanggaran HAM".

Karena itu, melalui tulisan ini saya ingin sedikit menjelaskan terkait pandangan saya mengenai mayoritarianisme India dan Indonesia berdasar pengetahuan saya yang amat sempit ini. 

Maka hal yang paling saya ingat adalah mayoritarianisme di Indonesia sangat humanis serta sangat sarat pengetahuan dan pemahaman yang dalam pada dalamnya kedalaman.

Untuk melihat hal ini, kita harus kembali jauh ke belakang ketika perumusan negara. Mulai dari BPUPKI, PPKI dan Tim 9 yang kemudian mencetuskan Piagam Jakarta. Yang mana pada salah satu poinnya dihilangkan "Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja" menjadi "Ketuhanan yang maha Esa".

Ini adalah penghargaan dan penerimaan atas perbedaan-perbedaan yang ada dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Olehnya itu, jangan sekali-sekali menarik apa yang terjadi di India untuk kemudian disandingkan dengan Indonesia. Walau pada dasarnya hal itu bisa dilakukan, tapi tidak semua hal perlu dan mendesak untuk disandingkan, bukan.

Sebaliknya, Indialah yang mesti belajar dari Indonesia. Bagaimana pengelolaan mayoritarianisme yang jika mengacu pada teori yakni soal hak pengaruh yang bisa berujung paten tapi kemudian yang ada adalah Indonesia tidak mencukur rasa kemanusiaan dan menekan pengaruh tersebut.

Atas apa yang terjadi di India, tentu kita sama-sama mengutuk atas pembantaian hingga pembunuhan itu. Sebab ini tentang kemanusiaan, bukan tentang negara, apalagi agama. 

Saya begitu ingat dengan sebuah tulisan Gus Dur yang katanya Tuhan tidak perlu dibela. Apalagi Tuhan dibela atas nama agama. Apakah Tuhan itu memiliki agama? Silahkan dijawab.

Kupikir, yang wajib dibela adalah kemanusiaan. Untuk itu, izinkan saya mengutip sebuah kalimat dalam kitab suci Islam "barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya" QS Al-Maaidah:32.

Kupikir cukup demikian, salam cinta, aku mencintaimu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun