Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mayoritarianisme dan Kekerasan di India

1 Maret 2020   20:59 Diperbarui: 2 Maret 2020   19:57 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstran berunjuk rasa menolak UU Kewarganegaraan Baru di New Delhi, India, Senin (24/2/2020). (DANISH SIDDIQUI via kompas.com)

Kembali kepermasalahan, yang sulit untuk dihindari adalah ditariknya kekejian di India secara serampangan ke negeri Indonesia yang antah berantah ini. 

Dengan segala cocologi yang ada, kemudian berkembang pada sejumlah platform media sosial bahwa Indonesia harus belajar dari India atas kejadian ini. Sungguh menggelikan.

Salah satu tokoh yang cukup berpengaruh juga tak lepas untuk tidak berkomentar. Bahkan sempat menjelaskan teori mayoritarianisme. Dia adalah Yenny Wahid. Hal itu saya dapatkan dalam sebuah cuitan twitter dan dimana ia menjelaskan bagaimana penggambarannya tentang mayoritarianisme di India.

Cutitannya begini "Mayoritarianisme di India muncul dalam bentuk UU Kewarganegaraan yang mendiskriminasi warga muslim India. Akibatnya muncul protes penolakan. Berujung kekerasan terhadap warga Muslim India. Mayoritarianisme tidak selalu=kekerasan. Itu dampak paling parah"

Dan secara sadar aku membalas cuitan itu "Mayoritarianisme itu jangan disamaratakan Mbak. Ingat, ada lingkungan sosial dan geografi hingga sejarah juga berpengaruh loh. Jangan dibutakan sama mayoritarianisme bahwa semua situasi dan kondisinya sama. Mba tentu ingat surat menyurat Bung Pram dan Bung Gunawan soal pemaafan pelanggaran HAM".

Karena itu, melalui tulisan ini saya ingin sedikit menjelaskan terkait pandangan saya mengenai mayoritarianisme India dan Indonesia berdasar pengetahuan saya yang amat sempit ini. 

Maka hal yang paling saya ingat adalah mayoritarianisme di Indonesia sangat humanis serta sangat sarat pengetahuan dan pemahaman yang dalam pada dalamnya kedalaman.

Untuk melihat hal ini, kita harus kembali jauh ke belakang ketika perumusan negara. Mulai dari BPUPKI, PPKI dan Tim 9 yang kemudian mencetuskan Piagam Jakarta. Yang mana pada salah satu poinnya dihilangkan "Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja" menjadi "Ketuhanan yang maha Esa".

Ini adalah penghargaan dan penerimaan atas perbedaan-perbedaan yang ada dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Olehnya itu, jangan sekali-sekali menarik apa yang terjadi di India untuk kemudian disandingkan dengan Indonesia. Walau pada dasarnya hal itu bisa dilakukan, tapi tidak semua hal perlu dan mendesak untuk disandingkan, bukan.

Sebaliknya, Indialah yang mesti belajar dari Indonesia. Bagaimana pengelolaan mayoritarianisme yang jika mengacu pada teori yakni soal hak pengaruh yang bisa berujung paten tapi kemudian yang ada adalah Indonesia tidak mencukur rasa kemanusiaan dan menekan pengaruh tersebut.

Atas apa yang terjadi di India, tentu kita sama-sama mengutuk atas pembantaian hingga pembunuhan itu. Sebab ini tentang kemanusiaan, bukan tentang negara, apalagi agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun