Semua bermula dari kengebetan para anggota DPR yang ngotot. Iya, ngotot mensahkan revisi undang undang-undang nomor 30 tahun 2002. Bayangkan yah, pembahasannya hanya menggunakan waktu selama 13 hari. Ngeri kan, ngeri kan. Atau kata almarhum Sutan Bhatoegana "ngeri-ngeri sedap".
Dan lucunya lagi, para legislator yang terhormat itu akan berakhir masa jabatannya pada November mendatang. Karenanya, banyak yang menilai para legislator ini sedang berselingkuh dengan pemerintah yang notabene harus diawasinya. Tentu ini hanya masih sebatas dugaan. Tapi, dugaan yang amat kuat.
Lihatlah, setelah pengesahan revisi undang-undang KPK itu mulus bak jalan tol. Itu kemudian membuat para manusia perut buncit (baca: anggota DPR) di Senayan sana mulai mengurucutkan untuk menetapkan revisi KUHP dan revisi undang undang pemasyarakatan serta RUU yang lain. Piss, hehehe.
Publik seperti ingin dikibuli untuk kedua kalinya. Setelah revisi undang-undang KPK yang disuarakan tidak serentak oleh masyarakat dan mahasiswa. Walau pada dasarnya sejumlah elemen dan lembaga menyayangkan upaya pelemahan KPK tersebut.
Bahkan, itu juga disuarakan oleh para pegawai KPK itu sendiri. Tapi yah begitulah, mereka (DPR) seperti punya kuasa, menutup mata dan telinga terhadap gelombang penolakan yang terjadi. Mereka seakan lupa dan ingin melupakan jika rakyat itu yang berkuasa dalam sistem demokrasi.
Maka tidak heran, jika kemudian suara rakyat dari jalan-jalan kota mulai didendangkan. Tidak terkecuali di Makassar. Saya sendiri yang menjadi saksi sejarah atas kejadian itu. Betapa kuat dan rekatnya ikatan mahasiswa dalam bersuara lantang di jalan-jalan protokol Makassar.
Aliansi Masyarakat Sipil Menggugat itu tergabung dari berbagai lintas kampus negeri maupun swasta maupun organ lain di Kota Makassar. Seperti UNM, Unhas, UMI, UKI Paulus, UIN Alauddin, UNIBOS, LBH Makassar, ACC, Walhi, HMI, dan sejumlah organ yang lain.
Seluruhnya satu suara, menolak rancangan undang undang KUHP, Pemasyarakatan, dan menolak revisi undang undang KPK. Kupikir tiga pokok pikiran inilah yang membuat mahasiswa gusar. Betapa tidak, sejumlah pasal karet dan tidak jelas termuat dalam undang undang ini.
Sebut saja salah satunya yakni pasal 278 dalam RUU KUHP yang mengatur orang yang membiarkan unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik orang lain terancam denda sampai Rp10 juta.
Kemudian, pasal 279 juga mengancam setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp10 juta.
Hahaha. Lucu bukan? Kalau tidak lucu yah selera humor anda yang kurang sensitif. Malah ada seorang teman yang berkelakar bahwa dirinya ingin pulang kampung ketika RUU KUHP ini disahkan. Katanya, ketika ada ayam tetangga masuk halaman rumahnya, akan diminta uang Rp.10 juta. hahaha
Gerakan Ditunggangi
Ada sebuah narasi yang agak lucu yang disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR, Juniver Girsang dalam sebuah acara talksow di salah satu tv swasta bahwa aksi mahasiswa ini ada yang menunggangi. Kemudian itu seperti diaminkan oleh menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Hei Pak, lihatlah dulu baik-baik, jangan sampai anda kelimpungan karena lantangnya suara yang menggelegar hingga terdengar di dinding rumah jabatan anda. Ini suara hati nurani, murni dari sudut-sudut kegelisahan atas pasal karet yang dibuat oleh DPR.
Sudahlah, jangan tarik kembali lagi suara ini ke dalam kubangan politik. Sebab itu sudah usai, Presiden Jokowi kembali melenggang bukan. Lagian, tidak ada suara dari mahasiswa dan rakyat yang berniat untuk menumbangkan Presiden Jokowi.
Kami hanya bersuara atas ulah para legislator yang "kotor" itu. Yang seperti punya kuasa atas segalanya. Yang lupa bagaimana dirinya dipilih sebagai penyambung lidah rakyat. Bukan malah sebagai pembunuh rakyat melalui undang undang yang tidak jelas.
Mahasiswa dan rakyat berdiri atas keinginan melawan ketidakadidlan akibat dari sebuah undang undang kontroversial. Semua berjuang karena khawatir anak cucu yang akan hidup pada masa-masa mendatang akan menjadi korban. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Bahkan tidak ada kepentingan politik sama sekali.
Dan Pak Yasonna dan Pak Juniver, ingat bahwa sosialisasi yang menjadi pembelaan anda itu benar. Tapi apakah itu sudah menyeluruh hingga sampai kepada telinga masyarakat petani, nelayan, buruh, pengamen dan lain-lain?
Karena tentu mereka itu tidak masuk kampus kan Pak, apalagi biaya kuliah itu mahal Pak? anda tahu itu kan. Yah, kalau anak-anak anda sih bisa kuliah sampai ke luar negeri, boleh jadi pakai uang negara dengan modus beasiswa pula. Mereka tentu tidak Pak. CAMKAN ITU.
Polisi Terlalu Agresif
Sebagai warga negara yang hidup di Indonesia, menyampaikan pendapat di muka umum itu dilindungi oleh konstitusi yakni dalam pasal 28E UUD 1945. Bahkan, mekanisme pelaksanaan sangat detail dalam undang undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Karena dalam pelaksanaan dan umumnya, kegiatan berpendapat di muka umum ini rawan atau bahkan sangat rawan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka perlu ada sebuah mekanisme pengamanan. Maka dari itu, diberikanlah tugas tersebut kepada Polri dalam pasal 13 ayat (3) pada undang undang yang sama.
Kemudian, hal ini sejalan dengan Perkapolri nomor 9 tahun 2008 tentang tata cara penyelenggaraan, pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum. Pada pasal 13 disebutkan bahwa Polri berkewajiban melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, dan menghargai prinsip praduga tidak bersalah.
Walau dalam aturan yang sama anggota Polri diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan secara tegas terhadap pelaku pelanggar hukum yakni dalam pasal 23 ayat (1) yakni anggota Polri menindak tegas pelaku yang melakukan anarkisme.
Tapi tentu saja kewenangan itu diatur secara proporsional. Pada pasal 24 masih dalam aturan yang sama, juga dijelaskan untuk tidak menerapkan upaya paksa seperti tindakan spontanitas dan emosional dengan mengejar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul hingga pelecehan.
Saya kira ini sangat lugas dan jelas. Tapi melihat situasi dan kondisi secara langsung pengamanan yang dilakukan anggota Polrestabes Makassar di depan Kantor DPRD Sulsel 24 Sepetember kemarin, jauh panggang dari api. Sebab saya menyadari hal itu sangat jauh dari kata prosedur.
Mungkin tidak ada yang bisa menolak jika saya mengatakan proses yang dilakukan oleh kawan-kawan dari Polrestabes Makassar kemarin itu adalah pelanggaran HAM. Ini berdasarkan pengalaman dan penglihatan saya secara langsung dan juga berupa foto dan video yang saya sempat ambil dan rekam.
Sebagai contoh pemukulan terhadap belasan hingga puluhan mahasiswa yang mengakibatkan luka fisik hingga mengeluarkan darah atau bahkan hingga patang tulang hidung, retak tulang rahang, hingga pengroyokan dengan brutal adalah hal yang tidak bisa dibiarkan. Ini pelanggaran HAM.
Tentu tidak semua kawan-kawan dari Polrestabes Makassar melakukan hal yang sama. Sebab saya menyaksikan juga bagaimana sejumlah polisi yang mengamankan dengan baik atau bahkan menyelamatkan sejumlah mahasiswa.
Poinnya saya adalah proses polisi yang terbukti bersalah. Jangan tebang pilih, kan negara ini adalah negara hukum. Maka dari itu, polisi pun wajib diusut secara hukum. Terutama bagi anggota polisi yang memukul dan menangkap mahasiswa hingga masuk masjid dengan memakai sepatu. LAWAN.
Disisi lain, aku pun setuju jika ada mahasiswa yang membawa senjata tajam diamankan dan dilakukan proses hukum sesuai dengan aturan yang ada. Sebab itu, tentu telah keluar dari kesepakatan dari Aliansi Masyarakat Sipil Menggugat yang menaungi mahasiswa dan rakyat yang turun ke jalan kemarin.
Kekerasan Terhadap Jurnalis
Khusus untuk hal ini, saya ingin kembali mengingatkan kepada kawan-kawan di kepolisian agar membaca dan banyak menelaah aturan yang ada dalam undang undang. Sebagai aparat penegak hukum itu sudah menjadi kewajiban bukan.
Sebab, lagi dan lagi, kekerasan kepolisian terhadap jurnalis kembali terjadi. "Anda bertugas, kami dari kalangan jurnalis juga bertugas" anda harus paham itu. Jika anda dilindungi oleh undang undang nomor 2 tahun 2002 maka kami dari jurnalis juga sama yakni dalam undang undang nomor 40 tahun 1999.
Saya kira teman-teman dari kepolisian itu telah lulus tes psikologi. Tapi jika melihat dan menyaksikan apa yang terjadi kemarin itu, saya malah jadi curiga. Jangan-jangan kawan-kawan dari kepolisian itu tidak lulus atau "diluluskan" saja. Ini hanya jangan-jangan sih. Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Sebab selain telah melanggar sejumlah aturan yang sebelumnya telah saya jelaskan juga seperti hilang kendali. Sebagai contoh, ketika kawan kami dari LKBN Antara, Darwin Fatir dan dua jurnalis lainnya dipukuli dengan sangat brutal.
Yang disayangkan, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Dicky Sondani membantah terjadinya pengeroyokan. Ia bahkan mengingatkan untuk memakai tanda pengenal sebagai wartawan. Tapi kemudian dari berbagai video, kawan kami Darwin telah sesuai dengan prosedur itu.
Dan lagi, insiden itu hanya dibarengi dengan permintaan maaf. "Kami minta maaf. Anggota yang melanggar akan diberikan sanksi. Nanti kita akan lakukan penyelidikan dulu oleh Propam. (Sanksi) Tergantung dari hasil sidang disiplin," kata Dicky Sondani. (cnnindonesia.com)
Atas kejadian ini, saya ingin mengatakan bahwa kasus ini harus diungkap secara terbuka. Tidak boleh didiamkan apalagi disembunyikan. Saya tidak ingin seperti kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis lain yang hanya berujung tanpa kejelasan. Jika kembali seperti itu, JELAS ITU TIDAK FAIR.
Ajang Selfie dan Narsis
Oke baiklah, sejenak kita keluar dulu dari ketegangan yang dibahas sebelumnya. Mari kita menelisik lebih jauh dari aksi demonstrasi kemarin. Barangkali kita akan menemukan hal-hal unik dan menarik. Kupikir ini bisa jadi bumbu-bumbu yang perlu diperlihatkan juga.
Sebab aksi demonstrasi kemarin itu pelakunya merupakan generasi z yang unik juga genit. Sebagai contoh yang unik dan genit yang saya maksudkan adalah mengenai kalimat yang disampaikan melalui bahasa yang amat milenial seperti "Jangan Matikan Keadilan Matikan Saja Mantanku". Asek sekali yah.
Saya kira ini cara yang amat sederhana untuk mengungkapkan keresahan pada dua sisi sekaligus. Pertama, resah karena sejumlah rancangan undang undang yang dibahas DPR itu sangat kontroversial. Kedua, resah karena belum bisa move on dari sang mantan rupanya. Ini menarik, ah juga genit.
Hal lain yang bisa menarik perhatian adalah narsis. Kupikir anak-anak milenial juga memang sangat narsis sih. Gimana tidak, makan saja, foto dulu, dan up load kemudian. Begitu juga saya kira dengan aksi yang dilakukan kemarin. Tidak dipungkiri ada hal semacam ini.
Bahkan, ketika saya berjalan keliling dari depan Kantor DPRD Sulsel ke Jalan AP Pettarani, saya mendapati sejumlah kejadian ini. Malah ada juga peserta aksi yang bernaung sambil pesan makan cepat saji seperti KFC sambil nge-AC. hehehe
Walau saya tidak ingin secara serampangan mengatakan mereka ini sekedar narsis tanpa ikhlas membela poin kesepatakan oleh aliansi. Akan tetapi, perlu menjadi catatan kepada kita semua bahwa narsis itu ada disekitar kita. Jangan sampai narsis mengelabui eksistensi perjuangan. INI TIDAK BOLEH DIBIARKAN. Sebab perjuangan itu hanya kepentingan publik dan kemanusiaan.
Kupikir cukup sekian. Punggung saya sudah mulai pegal. Otak saya mulai tegang. Tapi terpenting adalah kemarahan saya telah kulampiaskan dalam tulisan ini. Salam cinta, salam literasi, salam lestari, saya Sofyan Basri. #AKUMENCINTAIMU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H