Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sila Keseimbangan

27 Mei 2019   13:53 Diperbarui: 27 Mei 2019   14:09 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tidak tahu, kau semua yang paling tahu. Akut tidak paham, kau semua yang paling paham. Jangan pernah sisakan untukku. Ambillah dari tanganku, jika itu juga kau anggap baik untukmu. Rasa-rasanya, semudah dan sesederhana itu keadaan-keadaan hari ini. Yang lain tidak benar, akulah yang benar.

Dunia seperti sempit oleh berbagai macam perspektif. Tapi, pada akhirnya hanya berujung pada dua pilihan. Jika bukan 1, maka 2. Tidak ada yang lain. Sebab mau berlari kemanapun kita akan diiringi narasi yang sama. Kita seperti dikloning melebihi apapun. Kita seakan tidak diberikan kebenaran untuk memilih berada ditengah.

Kau mengkritik, maka kaulah kampret itu. Pun ketika kau memuja, maka kaulah cebong itu. Dan bagi mereka yang mencoba ditengah, tidak diberi ruang. "Munafik" adalah kata yang seakan menghantui bagi yang hanya ingin berada digaris tengah. Tidak ada ampun tanpa memilih dari pilihan diantara yang dua. Padahal, berada ditengah ada solusi untuk memberikan perspektif lain soal kebenaran sebagai peringatan untuk keduanya.

Hal lain yang menarik adalah bertebarannya kaum pengikut yang sekilas sangat paham. Melonjaknya mereka yang berada dalam tataran elit. Jihadnya mereka pada tingkat grass root karena terkungkung oleh pilihan mereka sendiri. Tidak adalah yang lebih baik dari mereka. Tidak adalah yang lebih bekerja dari mereka. Tidak adalah yang lebih kritis dari mereka. Dan, tidak adalah yang lebih ideologis dari mereka.

Setelahnya, kemanusiaan ditempatkan pada ruang yang amat spesial tapi dibungkus dengan rapi dalam sikap yang ekslusif. Bahwa kemanusiaanku berbeda dengan kemanusiaanmu. Itu dikarenakan kebenaranku berbasis data dan fakta secara kuantitatif. Sedangkan, kebenaranmu hanya berdasarkan asumi yang kualitatif. Sedang kualitatif dan kualitas sama pentingnya.

Luar biasa bukan. Nurani seakan ditepis oleh keduanya. Ditempatkan pada lorong-lorong waktu yang dijadikan eksperimen ledakan opini publik. Bahwa, disana akan terjadi kerusuhan berdasarkan subjek-subjek yang masih astral. Jika itu terjadi kemudian secara nyata di depan mata, apakah itu bukan bagian dari diksi negatif sebelumnya? Kuat dugaan, iya.

Massa tidak terkendali. Dari sebelumnya masih astral, kini telah jadi sesuatu yang begitu real. Datanglah saling menyalahkan. Itu karena gerakan kamu, maka kamulah yang salah. Lainnya berkata, itu terjadi pelanggaran HAM, harus diusut. Narasi basi kembali digulingkan untuk menutupi lubang kesalahan yang dibuat secara bersama-sama.

Oh betapa dusta telah merajai kebenaran. Menutupi diri dalam balutan kebencian. Menggulingkan moral. Mendelagasikan indra dalam keadaan tertutup untuk menerima keadaan yang terlanjur membuat 8 manusia terbujur kaku. Ia kehilangan nyawa atas ketidakadilan dan lepasnya kendali kesadaran oleh seluruh anak bangsa.

Lalu, sampai dimana kita akan memilihara tikai ini. Haruskah menutup buku sejarah kekejaman terhadap bangsa sendiri, lalu mengatakan bahwa hari ini kita ingin menuliskan sejarah kekejaman lainnya. Sejarah yang kemudian melegalkan beban masa depan dengan balutan luka menjadi duka yang akan terasa hingga abadi. Perlukah itu?

Atau kita memilih untuk menyadari diri bahwa siapa yang kita sakiti hari ini adalah diri kita sendiri. Maka sekaranglah waktunya untuk menerima bahwa demokrasi adalah jalan yang telah ditentukan 21 tahun lalu. Dan sekaranglah waktunya untuk menerima berbagai perspektif yang berbeda tanpa harus mengiringinya dengan ujaran kebencian.

Bukankah sila 3 dalam Pancasila "Persatuan Indonesia". Dan bukankah angka 3 dari seluruh sila Pancasila adalah titik tengah atau titik keseimbangan. Apakah kita akan egois dengan tidak mengakui hal itu yang kemudian menghancurkannya. Atau kita belajar dari sila keseimbangan dalam Pancasila itu dengan menghargai kebebasan beragama, mengedapankan kemanusiaan, menghargai diskusi dan musyawarah mufakat, dan mencapai keadilan yang dicita-citakan.

Dalam sejarah panjang tentang persatuan ummat manusia, kata kongkrit yang sangat wajib hadir dan dihadirkan adalah keadilan. Karena tidak ada keadilan tanpa kejujuran. Maka jujurlah. Jujur mengatakan yang salah mesti disalahkan dan yang benar mesti dibenarkan. Tidak boleh ada yang dipaksanakan untuk dibenarkan. Pun sebaliknya.

Jika terjadi penembakan, katakan ada. Jika ada yang oknum aparat yang menganiaya rakyat hingga terbunuh, katakan ada. Jika ada massa sewaan untuk membuat rusuh, kata ada. Jika ada permintaan untuk menggerakkan massa, kata ada. Dan usut secara tuntas. Tidak ada yang boleh lewat walau itu dari internal penegak hukum sendiri.

Jangan ada sistem tebang pilih, sebab logika hukum tidak demikian. Mari kita sama-sama membuktikan bahwa negara ini adalah negara hukum. Pilihan ini tentu ada ditangan kita semua. Kenapa semua, karena dengan dua jempol kita bisa memprovokasi untuk menghancurkan pun bisa menguatkan untuk mengokohkan sila keseimbangan itu sendiri. 

Berhentilah merasa paling benar dan tahu segalanya. Sebab, yang paling baik adalah yang tidak pernah merasa baik karena terus berbuat kebajikan. Yang paling benar adalah yang tidak pernah merasa benar karena terus mengejar pengalaman. Yang paling pintar adalah yang tidak pernah merasa pintar karena akan terus belajar untuk menambah ilmu dan pengetahuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun