Aku sedang duduk merenung, menapaki jalan jutaan kilometer
Menggulung jarak, menghentikan waktu yang berputar sejenak
Kudapati lirih begitu pedih diatas tumpukan reruntuhan rumah
Menganga menghadap kepada langit dengan kalimat pilu begitu sedih
Air mata tak lagi terbendung, melintas seperti arus sungai Nil
Menerobos batin yang memuncak atas sikap tak adil
Sebagiannya lagi hanya diam, menahan amarah yang menjadi-jadi
Pandangan kosong atas sikap Presiden yang mati suri
Dentuman, ledakan, dan kelaparan seperti makanan sehari-hari
Teriakan, tangisan, dan suara sirine seperti alunan simfoni
Menyelimuti kalbu yang sesak penuh duri
Hingga nafas tak lagi menjadi prioritas diri
Gedung Putih katanya tak mau peduli, Beruang Merah hanya ingin unjuk gigi
Zionis tutup mata bungkam hati, Al Quds tak lagi suci
Istambul bereaksi dengan aksi, Liga Arab menutup diri
Pyongyang urus nuklir sana sini, Jakarta sibuk politik terkini
PBB teriak hak asasi, tapi seperti hanya pilih kasih
Menuding agama sebagai benih radikalisasi, padahal disana sedang terjadi kapitalisasi
Bantai ISIS mesti jadi
Tapi jangan mengkonspirasi
Bahwa agama dalang dari kerusuhan dan kerusakan yang terjadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H