Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dari Oposisi, PDIP dan Megawati, Serta Jokowi Menuju Istana (2)

5 April 2018   00:28 Diperbarui: 6 April 2018   04:55 3660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 lalu adalah keberhasilan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri. Meski memang, belum bisa saya katakan sebagai puncak keberhasilan sebab bukanlah dirinya yang duduk pada kursi kosong satu RI

Namun demikian, capaian yang diraih oleh PDIP tak terlepas dari campur tangan Megawati. Dimana Joko Widodo muncul sebagai pemenang Pilpres yang ketika itu berhadapan dengan Prabowo Subianto. Keputusan Megawati yang memberikan kesempatan kepada Jokowi sangat ampuh yang kemudian membuat PDIP melenggang ke Istana.

Akan tetapi, ujian utama bagi seorang Megawati, Jokowi dan PDIP adalah mempertahankan kekuasaan yang diraihnya saat ini. Tentu ini bukanlah perkara yang mudah. Namun, mesti ada persiapan strategi yang matang. Jika tidak, maka kekuasaan yang sudah dalam genggaman akan lenyap seketika.

Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP yang dilaksanakan di Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Jumat (23/2 ) lalu, Megawati secara resmi mengumumkan Jokowi sebagai  Calon Presiden (Capres) 2019 mendatang. Sikap Megawati itu secara psiko politik telah "percaya" pada Jokowi.

Sikap "percaya" Megawati kepada Jokowi memang semestinya didengungkan. Bahkan, saya mesti menekankan juga bahwa Jokowi memang kader PDIP yang dinahkodai oleh Megawati, akan tetapi Megawati harus menekan arogansinya kepada Jokowi seperti yang terjadi beberapa waktu lalu ketika Megawati memanggil Jokowi sebagai "petugas partai".

Sebab manuver politik Jokowi secara kasat mata tentu akan sangat berpengaruh pada PDIP. Sebagai contoh, ketika Jokowi gelisah dengan panggilan "petugas partai", mantan gubernur DKI Jakarta melakukan gebrakan melalui Luhut Binsar Pandjaitan dan Partai Golkar.

Hasilnya, Partai Golkar menjadi partai kedua yang mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres 2019 setelah NasDem. Saya pikir, keputusan yang diambil Golkar adalah sikap dukungan sekaligus bentuk ketiksukaan secara tidak langsung Jokowi yang seakan-akan didikte oleh PDIP dan Megawati.

Saya kira hal ini pulalah yang tangkap oleh Megawati sehingga terkesan tidak ragu lagi dengan Jokowi untuk dideklarasikan pada Rakernas lalu. Menekan Jokowi seakan-akan bukan sebagai Presiden akan berakibat kerugian bagi PDIP. Saya kira semua tahu hal ini.

Dengan demikian, situasi dan kondisi politik antara PDIP, Megawati, dan Jokowi dalam menatap istana pada periode kedua sudah berbeda. Jika sebalumnya Megawati dan PDIP dominan, maka untuk Pilpres kali ini Jokowi-lah pusat segala gerakan. Namun, tentu andil PDIP dan Megawati tidak bisa dilepaskan.

Gerakan Jokowi yang kasat mata tersebut kian nyata dengan munculnya gerakan sejumlah partai politik yang menyatakan siap mendukung di Pilpres. Antara lain Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Dan faktanya ketujuh partai politik tersebut melakukan deklarasi sebelum PDIP. Saya pikir ini unik sekaligus menyentil. Bahwa Jokowi dulu bukanlah Jokowi sekarang. Jika dulu Jokowi sedang belajar, maka sekarang posisinya Jokowi sudah paham sehingga tidak bisa lagi diremehka

ngopibareng.id
ngopibareng.id
Catatannya, Jokowi tidak bisa juga serta merta acuh, cuek atau bahkan melupakan Megawati dan PDIP karena tetap masioh bagian dari kesinambungan. Saya kira hal ini juga dipahami oleh Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

Pepres ini menjadi langkah Jokowi dalam menyempurnakan, dan direvitalisasi organisasi, tugas dan fungsi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang diberikan kepada Megawati yang kemudian membuatnya menjadi pejabat setingkat menteri.

Harmonisasi PDIP, Megawati, dan Jokowi dalam menatap Pilpres sangatlah penting dalam mengamankan periode kedua. Ketiga indikator ini mesti saling menjaga irama satu sama lain. Tidak boleh saling menekan dan merasa paling dibutuhkan dan membutuhkan. Jokowi yang berada pada puncak segitiga ini pun tak boleh arogan.

Yang menjadi pekerjaan bagi Megawati saat ini adalah penerusnya di PDIP dan wakil Jokowi di Pilpres. Sebab arah politik di Pilpres nanti juga akan membuat hal ini akan jelas. Sebab bisa jadi saat ini Megawati sedang dalam posisi mencari sosok yang pas untuk menggantikannya dipucuk pimpinan PDIP.

Puan sebagai kandidat paling kuat kini sedang meredup oleh isu korupsi yang muncul dari balik nyanyian mantan Ketua Umum Golkar, Setya Novanto. Sedangkan Jokowi adalah aset PDIP sudah barang tentu punya kans juga, namun apakah Megawati mau? sebab tentu saja Megawati tak ingin menyerahkan begitu saja.

Disisi lain Puan yang tengah santer dikabarkan akan menjadi pendamping Jokowi di Pilpres adalah pilihan realistis bagi Megawati dan PDIP. Sebab jika skenario ini jalan dan berhasil maka Megawati menang besar. Pertama karena mampu melenggang pada periode kedua dan sudah tentu tidak akan ragu lagi untuk menyerahkan PDIP kepada Puan yang notabene anak sendiri juga bisa diusung di Pilpres selanjutnya.

Namun apakah ini akan mudah? Kupikir tidak. Selain karena isu korupsi yang menyeret Puan, Megawati juga mesti fokus pada Pilpres yang merupakan target utama. Apalagi, kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam hal ini Jokowi sebagai Presiden terus menuai sorotan.

Kupikir tidak perlu dijelaskan lagi, yang mana menjadi sorotan tersebut. Salah satu yang paling tidak bisa saya lupa adalah memuluskannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas menjadi UU dinilai oleh sejumlah kalangan sangat dipaksakan.

Disamping sejumlah sorotan lain seperti manuver kontroversial sejumlah menteri Kabinet Kerja. Tidak konsistennya Jokowi mengenai menteri rangkap jabatan, impor beras dan garam, utang luar negeri yang kian menumpuk, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga BBM dan masih banyak lagi yang lain.

Oleh karena itu, jika pada Pilpres 2014 lalu PDIP dan Megawati bisa sangat mudah menjual sebagai partai wong cilik yang selama 10 tahun membela rakyat. Maka untuk Pilpres 2019 mendatang, PDIP dan Megawati harus membuang jauh-jauh jualannya itu. Sebab kini, situasinya berbeda.

Sebagai partai penguasa, semestinya PDIP mesti menjual hasil kerja nyata. Akan tetapi, kupikir hal ini kurang terdistribusi dengan baik. Sehingga memunculkan kesan jika pemerintah Jokowi tidak kelihatan. Adapun kegiatan infrastruktur yang selalu menjadi jargon utama Jokowi pada masa pemerintahannya juga masih dipertanyakan.

Bahkan, sejumlah proyek infrastruktur malah mengalami masalah. Mulai dari mangkraknya kereta api cepat Jakarta-Bandung, runtuhnya jalur kereta api Soekarno Hatta, robohnya bangunan tol Becakayu, dan lain-lain. Meski memang sejumlah ruas tol bertambah dan perbaikan jalan di trans Papua dan Kalimantan. Akan tetapi ini belumlah cukup.

Yang paling krusial bagi saya kepastian hukum yang seperti menyasar hanya kalangan tertentu saja. Sebagai bukti dan paling nyata adalah kasus Novel Baswedan yang pada 11 April mendatang akan memasuki satu tahun tapi belum terungkap. Bahkan, pelakunya masih bebas berkeliaran. Tentu ini PR besar.

Sehingga, saya secara pribadi berkesimpulan bahwa pertarungan Pilpres 2019 mendatang lebih berat bagi PDIP, Megawati dan Jokowi. Sebab tentu rakyat sebagai pemilih telah punya dasar untuk memberikan pilihan pada Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Jika sebelumnya PDIP, Megawati, dan Jokowi sangat bebas untuk memberikan janji politik karena telah bersama rakyat selama 10 tahun sebagai partai oposisi yang kemudian memabukkan rakyat untuk memberikan dukungan, maka untuk Pilpres 2019 harus bersiap untuk ditagih janji.

Apalagi warning sudah sangat jelas bagi PDIP, Megawati dan Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Dimana usungan PDIP yang berstatus sebagai incumbent bertekuk lutut dihadapan partai oposisi. Kupikir hasil Pilkada DKI Jakarta ini masih kartu kuning.

Akan tetapi, jika pada Pilkada serentak 2018 yang akan berlangsung pada 27 Juni mendatang jagoan-jagoan PDIP yang ada di Pulau Jawa dan Sumatera kembali kalah. Maka kupikir itu sudah masuk kartu merah. Artinya, PDIP, Megawati, dan Jokowi sudah kalah secara psikologis. Khusus di Jateng dimana PDIP mengusung Ganjar Pranowo terus ditekan dengan isu korupsi.

Bagaimana pun itu, politik tetaplah politik. Apapun itu, semuanya masih bisa terjadi. Kata sejumlah politisi yang sering saya ajak berdiskusi di Makassar "Dalam kontetasi politik, lebih baik menang curang daripada kalah curang". Kupikir ini "realistis" secara politik. Entahlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun