Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fakta dalam Politik

23 Januari 2018   17:17 Diperbarui: 23 Januari 2018   17:35 2525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Rubrica News

Apa yang kita pakai saat ini, apa yang kita minum saat ini, hingga apa yang akan kita makan saat ini, hampir pasti merupakan sebuah proses yang lahir dari politik. Tentu saja yang terbaru dan terhangat adalah mengenai rencana pemerintah untuk melakukan impor beras dan impor garam untuk industri.

Termasuk pesta demokrasi lima tahun sekali Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) jilid tiga yang akan berlangsung tahun ini. Kesemuanya yang berkecamuk dipublik yang berkaitan dengan Pilkada, tentu merupakan sebuah proses politik yang saling berterkaitan secara tidak langsung, termasuk dengan cucuran air mata.

Tentu dengan segala yang berkaitan dengan politik akan sangat menarik untuk dibahas. Saya kira semua orang akan setuju dengan hal ini. Kalaupun tidak, yah itulah politik sebab tidak enak rasanya jika kita memilih pilihan yang sama dalam politik.

Untuk itu, kali ini saya akan membahas beberapa fakta yang sering kali saya lihat dalam politik. Bagi saya, fakta dalam politik itu ada dua. Pertama, fakta yang baru mendekati fakta. Dan kedua, fakta yang sesungguhnya fakta. Kalimat ini sedikit aneh dan nyeleneh. Tapi, bagi saya kalimat ini yang paling pas. Kedua fakta ini kita akan bahas dalam beberapa sudut pandang.

Sudut Pandang Lembaga Survei

Saya tidak tahu betul lembaga survei apa yang pertama yang hadir di Indonesia sejak negara ini memilih sistem demokrasi dimana kepala daerah, anggota parlemen pusat dan daerah, hingga pemilihan presiden dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia.

Yang pasti, setiap hajatan Pilkada hampir pasti dibarengi oleh munculnya lembaga survei. Saya pikir ini adalah pola yang wajar, sebab lembaga survei ini tentu akan memberikan fakta-fakta akurat secara ilmiah kepada klien atau calon kepala daerah yang akan maju di Pilkada.

Fakta-fakta yang disajikan oleh lembaga survei tersebut bisa berupa kondisi terkini mengenai polarisasi pemilih, tingkat keterpilihan, kelemahan dan kekurangan, hingga cost politik dan masih banyak lagi yang mesti dipersiapkan oleh bakal calon kepala daerah untuk maju di Pilkada.

Saya yakin dan percaya segala data yang disajikan oleh setiap lembaga survei adalah fakta yang terjadi dilapangan yang sangat bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebab hasil tersebut merupakan hasil riset secara ilmiah dengan menggunakan metode dan sistem berdasarkan teori yang sudah terbukti.

Oke, itu sudut pandang dari lembaga survei yah. Bahwa saya ingin mengatakan jika sajian data yang diberikan oleh lembaga survei tersebut adalah sebuah fakta yang masih mendekati fakta. Kenapa demikian? Yah karena ini adalah sebuah proses politik.

Sebab tidak jarang kita mendengar calon kepala yang hasil surveinya tinggi, elektoralnya baik, dikenal luas dimasyarakat tapi tidak menang dalam pertarungan di Pilkada. Bahkan, tidak hanya sampai disitu, calon kepala daerah yang berstatus incumbent pun tidak dapat menjamin mampu menang.

Sebagai contoh, pada Pilkada Takalar lalu, pasangan incumbent Burhanuddin Baharuddin-Ibrahim Natsir (Bur-Nojeng) yang diusung oleh sejumlah partai politik besar diantaranya Golkar, Demokrat, PDIP, Hanura, PAN, PPP, PBB, PKPI, dan Gerindra tidak mampu mempertahankan takhtanya.

Fakta yang tersaji sebelum pemilihan adalah tingkat keterpilihan pasangan Bur-Nojeng berada diatas angka 60 persen. Akan tetapi, fakta itu dilululahtahkan oleh fakta yang lain yang kini menjadi fakta yang sebenarnya bahwa pasangan Syamsari Kitta-Ahmad Daeng Se're (SK-HD) yang keluar sebagai pemenang.

Sudut Pandang Pendukung

Namanya juga pesta, yah tentu akan ada banyak orang yang akan terlibat. Makanya tidak heran jika jelang Pilkada akan banyak euforia. Mulai dari pawai pendukung, tim pemenangan, ketegangan antar tim pemenangan, hingga bermunculannya berbagai akun media sosial yang eksis tiba-tiba akrab dan antusias.

Khusus untuk akun media sosial itu, sebelumnya sudah saya singgung dalam tulisan essay tahun lalu. Bahkan, beberapa kali saya pernah tulis dalam bentuk berita. Saya kira euforia semacam ini adalah sebuah bentuk kewajaran yang mesti diwajarkan jelang Pilkada.

Tim pemenangan, partai pendukung, hingga simpatisan antar kandidat tentu akan saling mengklaim kandidat inilah dan kandidat itulah yang paling jago, hebat, dan paling bisa diandalkan oleh rakyat yang akan memilih untuk memberikan kesejahteraan, pemberantasan kemiskinan, dan sejuta program lainnya.

Bahkan, tak jarang dalam media sosial tim atau simpatisan antar kandidat saling mencela dan saling mengumbar janji. Hal itu tentu sebagai bagian dari bentuk fanatisme. Dan saya kira semua orang berhak untuk mengidolakan hingga menjadikan kandidat sebagai fans yang fanatik sebab itu bisa jadi bentuk dari keloyalitasan.

Secara keseluruhan yang saya jelaskan diatas adalah fakta. Akan tetapi, sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa itu masih sebuah fakta yang masih mendekati fakta. Sebab tak jarang seseorang yang sangat fanatik terhadap kandidat tertentu tapi tidak bisa memberikan hal suaranya di Pilkada. Kan ini sedikit menggelitik kan.

Contoh yang paling mudah saya dapatkan mengenai hal ini adalah para pendukung fanatisme di Pilwalkot Makassar. Tak jarang ada beberapa teman yang saya kenal sendiri sangat fanatik dengan salah satu kandidat akan tetapi disisi yang lain, teman itu tidak bisa memilih di Pilwalkot karena tidak berKTP Makassar. Aneh kan. Saya kira begitu juga dengan daerah lain.

----------------

Pada akhirnya saya ingin mengatakan bahwa data yang diuraikan oleh lembaga survei hingga fanatisme pendukung itu masih dalam tataran fakta yang masih mendekati fakta. Sebab bagi saya, fakta yang sebenarnya fakta dalam politik adalah apa yang sudah terjadi.

Itu berarti jika dihubungkan dengan Pilkada, semua boleh mengatakan ini adalah fakta, dan itu adalah fakta. Akan tetapi yang sesungguhnya fakta adalah ketika keluar hasil dari Komisi Pemilihan Umum. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh terjebak oleh fakta yang masih mendekati fakta ini.

Ini saya kira sangat perlu diingat oleh semua orang yang terlibat dalam Pilkada, terkhusus di Sulsel yang akan diikuti oleh 12 kabupaten/kota termasuk Pilgub. Bahwa fakta yang mendekati fakta itu adalah sebuah fakta, akan tetapi sesungguhnya hal itu belumlah menjadi sebuah fakta.

Bisa saja orang mengatakan jika kandidat ini atau kandidat itu yang paling berpeluang dengan berdasar pada jumlah massa yang banyak hingga hasil survei yang paling tinggi diantara kandidat yang lain. Namun, hal itu tentu tidak bisa dijadikan alat ukur yang pasti untuk menjadikan bakal calon menjadi calon hingga menjadi kepala daerah yang resmi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun