Sejatinya memang kekuasaan itu diperjuangkan. Sebab tidak ada raja yang menjadi raja ketika tidak pernah menaklukkan. Begitu pun menjadi Presiden pada negara yang menganut sistem demokrasi, bahwa tidak ada Presiden tanpa menaklukkan lawan pada Pemilihan Presiden (Pilpres).
Sedang ketika telah menjadi penguasa pada kekuasaan, langkah selanjutnya yang mesti dipikirkan adalah mempertahankan kekuasaan. Hal ini dinilai sangatlah lumrah dan biasa-biasa saja. Jangankan menjadi Presiden yang menguasai sebuah negara, Kepala Daerah (Kada) pun akan mati-matian untuk mempertahankan takhta.
Tak pelak, mempertahankan kuasa atas kekuasaan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan membangun pondasi kekuasaan dengan politik dinasti, hal ini pun menjadi fenomena di negeri yang kaya dan besar ini. Tentu semua tahu, bagaimana Ratu Atut Chosiyah membangun dinastinya di Provinsi Banten, dan masih banyak lagi kasus lainnya.
Mempertahankan kekuasaan juga bisa melalui kebijakan untuk melakukan penekanan terhadap pembangkang. Dan hal inilah yang mungkin terjadi pada Istana Kepresidenan di Jakarta sana. Dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017, yang notabene adalah pengganti Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Awal mula Perppu tersebut lahir ketika pemerintah mengambil langkah tegas untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 8 Mei lalu. Pembubaran HTI itu sendiri dilakukan karena dianggap sebagai tempat bersarang dan munculnya bibit radikalisme dan organisasi kemasyarakatan lain yang dianggap sama serta organisasi yang dianggap anti dan mebahayakan ideologi negara yakni Pancasila.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra getol menyuarakan mengenai Perppu ini. Yusril pun mengingatkan agar ormas Islam tidak terkecoh dengan Perppu tersebut. Pasalnya, kata Yusril, Perppu tersebut bukan hanya untuk membubarkan HTI dan ormas radikal tapi ormas manapun bisa dibidik jika menciptakan opini negatif dengan mengalasankan stigma sebagai ormas anti Pancasila untuk kemudian secara sepihak dibubarkan oleh pemerintah.
Hal lain yang menjadi sorotan Yusril adalah mengenai pasal 59 ayat (4) huruf c. Selain itu, sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu tersebut adalah pencabutan status badan hukum oleh Menkumham. Pencabutan status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A di  Perpu itu sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut.
Oleh karena itu, proses yang dilakukan oleh Menkumham baik sendiri ataupun meminta pendapat pihak lain bisa dilakukan tanpa proses pengadilan. Hal ini pun membuat Yusril baik pitam dengan mengatakan Perppu yang baru saja disahkan oleh pemerintah rezim Joko Widodo tersebut lebih kejam dari penjajah Belanda, Orde Lama dan Orde Baru.
Saya sendiri menilai berdasarkan hati dan pikiran, bahwa Perppu tersebut adalah bentuk kepanikan kekuasaan. Menjalankan segala macam cara untuk menekan sentralitas massa untuk melakukan pembangkangan pada Pilpres 2019 mendatang. Pasalnya, Perppu tersebut bisa saja digunakan secara semena-mena oleh penguasa dalam hal ini Kemenkumham untuk melakukan pembubaran ormas secara sepihak bagi yang kontra dengan pemerintah.
Perppu ini pun bisa menjadi senjata andalan dalam menjalankan misi khusus, secara terstruktur, dan massif untuk menarik pundi-pundi suara. Hingga membuat masyarakat yang tergabung dalam ormas yang dianggap tidak pro pemerintah akan terpenjara hak asasinya dalam memilih calon pemimpin dimasa mendatang. Bahkan, bisa dianggap sebagai penyakit yang mesti diimunisasi hingga dimusnahkan.
Lalu, apakah hal itu telah menjadikan rezim saat ini sebagai penjaga martabat demokrasi, pecinta Pancasila, dan mengilhami Bhineka Tunggal Ika. Bukankah pemerintah hadir atas nama rakyat, seperti semboyan demokrasi "Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat", dan kesesuaian dengan nilai luhur yang terkandung dalam lima sila Pancasila.
Dengan demikian, apakah Perppu tersebut telah menjadi representasi demokrasi atau malah menjadi lubang kuburan demokrasi?. Tentu semua punya opini masing-masing, saya hanya warga negara yang risau dan merasa terancam hak asasi saya dalam berdemokrasi dicabut secara paksa oleh pihak penguasa yang haus akan kekuasaaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H