Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Biarkan Kumencintai Indonesia dengan Caraku (Sendiri)

14 Agustus 2020   16:49 Diperbarui: 14 Agustus 2020   17:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demokrasi Sudah Mati.

Memang dia pernah hidup di Indonesia ini?

Dalam waktu 3 hari kedepan, kita akan merayakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sebuah Proklamasi yang sejatinya dipaksakan saat itu. 

True Story, Gan.

Bung Karno saat itu ingin menunda. Tapi tidak dengan pemuda lain yang justru mendorong terjadinya proklamasi ini. Tidak juga tentang nubuah Eyang Ronggowarsito yang sudah meramalkan terjadinya kemerdekaan.  Dan tidak juga karena Kartosoewirjo, yang sebetulnya beberapa hari setelah peristiwa Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki mendorong elit politik Indonesia saat itu untuk memproklamirkan Negara Islam  yang semula di jadwalkan akan di deklarasikan pada tanggal 14 Agustus 1945. 

Teks Proklamasi yang kita kenal saat ini pin tergugah dan tergubah, dari naskah "Kemerdekaan" yang semula di sodorkan Kartosoewirjo , dan tentu saja, ditolak oleh mayoritas elit politik Indonesia. 

Atas dasar keberagaman, dan Persatuan.l tentunya. 

75 tahun kemudian. 

Meminjam satu bait lagu, entah apa yang merasukimu, putra putri Ibu Pertiwi ini masih saja saling mencaci. Saling memaki.

Yang satu memaki Komunis. Yang satu lagi memaki Radikalis. Yang sini merasa paling Pancasilais, eh yang sono merasa paling agamis.  Sebenernya menurut saya, kalian sama sama anak Ibu ( Pertiwi) yang tidak waras.

Keblinger dengan puja puji, tekanan komunal untuk menjadi diri sendiri dan seriusan malaj gak punya jati diri.  Ini hal yang diperparah dengan para provokator segawon yang cari duit dari ngomporin orang. 

Dan ibarat sama sama putra putri Ibu, kalian ini dikomporin sama orang yang bahkan cukup gentle untuk ngadepin sendiri urusannnya aja enggak, dan kok ya mau aja sih dibemperin buat branteman sementara mereka ketawa? 

Cukup. 

Kau sebut dia kafir.  Mulutmu koyok yang diutus Gusti Allah buat nentuin siapa manusia yang kelak masuk suargo atau neroko.

Nah disisi yang satu Sobat Rahayu termasuk barisan konon keturunan Majapahit sakit hati mau ngusir keturunan Arab . Ngerasa sabdopalon wis wayah.

Eyang Ismoyo ga pernah dawuh supaya kalian ini jadi orang yang picik kok. Trus kamu itu Rahajoe opo ? 

Sakit hati sama Islam kok terus terusan ngerasa Majapahit dihancurkan sama Islam. Lha kamu yang lari sendiri, dan kamu itu yang ngecilin Majapahit. 

Stop pointing fingers. 

Simbol mirip salib dimasalahin. Eh hari anak gambar anak kecil pake hijab dan peci dimasalahin.

Kalian ini gila. Sudahlah. 

Biarkan aku mencintai Indonesia dengan caraku sendiri. Gak mau terjebak dengan politik yang ujung ujungnya Patrilinialis antara Geng Soekarno dan Geng Soeharto.

Kedua nama itu punya jasa, kelebihan dan kekurangan masing masing. Tinggal nerusin jaga , kreatif, positif dan progresif aja kok susah. 

Merasa tidak rela negara diacak acak, padahal sejatinya sedang mengacak acak sendiri dengan dalih paling NKRI. Tidak rela agama mu di hina, tapi kamu merendahkan Tuhan mu sendiri dengan menyamakan dirimu seperti hantum 

Ngatain cingkrang itu radikalis, kembali ke budaya sendiri ternyata sukanya fetish swinger. Mbahmu kuwi sing radikalis, Bambang. 

Saya cinta dengan Presiden Jokowi dan menghormatinya. Tapi cinta itu bukan berarto sendiko dawuh diem saja saat Bapak Negaraku sedang dicaci, atau bahkan dibuat mainan sama konco elit politiknya. 

Dan jelas gak cinta dengan tukang martabak sombong ra duwe adab yang sekarang lali weton main nyalon aja. 

Tapi ya kemudian, biarkanlah.

Biarkan aku, kamu, dan mereka mencintai Indonesia sesuai dengan caraku, caramu, dan cara mereka sendiri sendiri.

Selama aku, kamu, mereka masih menghormati Ibu Pertiwi dengan cara terus positif dan berbakti. 

Aku bukan kamu. Dan kamu bukan aku. Tapi Ibu kita itu sama. Dan Beliau mengajarkan Bhinekka Tunggal Ika. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun