Nilai Universal
Pancasila itu Universal. Truly One of a Kind Masterpiece dan unik karena rumusan yang tergabung sebagai dasar negara kita itu memang membawa falsafah kebaikan yang kalau diejawantahkan gak akan selesai ngebahasnya.
Dimana sih nilai 'universal'nya sebuah Pancasila? Hebatnya Pancasila itu bahwa semua unsur dalam suku, agama dan ras, bisa merasa kalau "hei, itu nilai nilai yang diajarkan di keyakinan atau falsafah kami dalam hidup, sehingga kami benar benar bisa merasa bahwa kami itu (paling) Pancasilais"
Iya betul, semua nilai baik dalam ideologi--- baik itu kanan atau 'kiri',  falsafah hidup dan keyakinan yang mungkin terbalut dalam serat atau kidung lama, nilai hidup yang diajarkan oleh leluhur masing masing suku, atau  bungkus ageman / agomo sudah pasti istimewa. Keberagaman ini yang bikin kita (lagi lagi, sejatinya) kaya. Multi kultural, multi etnis, multi falsafah dan multi keyakinan. Yang dulunya, sebelum kita kenal ada nama Indonesia, dipersatukan dibawah bendera Wilwatika, atau Majapahit di Nuswantara.Â
Biso Rumongso, ora Rumongso Biso.
Hanya yang sebetulnya diperlukan dari  kita masing masing  adalah jangan sekedar Rumongso Biso atau merasa bisa, tapi lebih baik bercermin dengan Biso Rumongso, atau bisa merasaka(kan)Bahwa semua Suku, Falsafah , Keyakinan itu tidak ada yang sempurna.Kok bisa? Ya semua itu punya satu kelemahan yang bisa jadi fatal :
Para manusianya, pemeluknya. Ummatnya. Kok bisa malah pemeluknya yang bikin sebuah keyakinan menjadi tidak sempurna? Ya karena kita emang diciptakan enggak sampurno, atau sempurna.Â
Maka dari itu ada dari kita yang selalu berusaha mendekati yang Maha Sempurna, atau minimal berusaha mendekati kesempurnaan dalam hidup. Dengan berperilaku baik sesuai dengan tuntunan keyakinan masing masing.
Bernegara, didalam tatanan hukum. Tertib, disiplin dan yang lain. Disini, di Indonesia, dengan suku, agama dan ras yang beragam, kita belajar untuk berjalan bersama sama.Menunjukkan bakti kepada negara, seperti cerita yang diperlambangkan oleh GarudaeyaÂ
Cerita Tentang Garudaeya
Secara singkat, Garudaeya menceritakan bhakti seorang anak kepada Ibunya. Sebuah kisah heroik perjuangan seorang anak untuk membebaskan sang Ibunda dari perbudakan. Â Inilah perlambang dari perjuangan kita dulu sebagai sebuah bangsa. Bakti anak negara pada apa yang kita sebut Ibu Pertiwi, untuk membebaskan diri dari perbudakan, dalam meraih kemerdekaan. Itu, kenapa kita mempergunakan lambang Garuda yang membawa perisai Pancasila sendiri.
Sedari kecil kita diajarkan, bahwa Ibunda, adalah jimat seorang anak yang terbesar. Doa Ibu. Surga, ditelapak kaki Ibu. Â Ibu, Ibu, Ibu, kemudian Bapak. Ingat akan hadist ini? Lantas kenapa kemudian ada pihak yang merasa bahwa Garuda Pancasila itu produk yang 'tak sesuai dengan apa yang mereka imani' ? Lagi lagi, kembali pada faktor ketidaksempurnaan itu sendiri. Manusianya lah yang berpikiran seperti ini, dengan keterbatasan akal, apalagi hati nurani.Â
Khilafah dan Pancasila itu sejatinya sama ?
Kalau anda kebetulan terlahir menjadi seorang manusia Indonesia yang menolak lupa akan asal usulnya, apapun baju yang kini anda kenakan, ya ioni konsep sederhana yang sejatinya sama. Minimal anda bisa mengatakan bahwa, iya, nilai sejati Khilafah ada didalam Pancasila, dan Pancasila pun bisa jadi ada didalam konsep Khilafah. Ini bukan kelirumologi, atau bahkan cocokologi. Falsafah Hidup manusia Jawa sudah mewakili ini.Â
Bagaimana seseorang harus bisa nyelaras dengan bumi seisinya. Semua ciptaan Nya. Tidak melulu konsep horizontal namun juga vertikal. Nyelaras, atau selaras itu apabila pengendalian diri sudah benar benar baik. Dimana konsep sedulur papat limo pancer ditekankan dulu, dalam konteks pribadi. 4 saudara yang mewakili unsur dan sifat, baik dan buruk diselaraskan menjadi satu. "Meminta" untuk semua unsur bergerak bersama sama, tidak ada satupun yang ditonjolkan atau menonjol.
Mengendalikan amarah, nafsu, dan bahkan kebaikan sekalipun. Â Bukan diperangi atau dihilangkan. Itu sama saja kita melupakan satu kodrat yang paling utama : bahwa kita diciptakan sebagai mahluk yang paling sempurna, tapi kita tetap tidak ada yang sempurna.
Disini seseorang betul betul belajar untuk menjadi seorang Khalifah atas dirinya sendiri. Belajar mengenali semua unsur dan meminta bahkan akal yang konon menjadikan kita ini mahluk yang paling sempurna, sudi untuk bersama sama mendengarkan dan mengikuti hati nurani. Konsep Manunggaling Kawulo Gusti--- atau menjadi satunya kawulo( saya; seseorang) dengan Gusti Allah itu bukan berarti kita bertindak sebagai Tuhan. Tapi justru menurunkan ego masing masing unsur untuk mendengarkan dan berlaku sesuai nurani, yang berarti petunjuk dari Tuhan.
Sepertinya gampang, namun benar benar sulit untuk dilakukan. Menjadi Khalifah lah atas diri sendiri dulu. Jangan berusaha menjadi Tuhan dengan mengatakan bahwa saya lebih baik daripada yang lain, karena tuntunan yang turun itu sejatinya bukan itu maksudnya.Â
Kemudian lebih jauh lagi, nyelaras dengan bumi dan seisinya. Alam sekitarnya. Menghormati, alam. Sangat hipokrit , atau maaf , munafik, apabila kita berteriak lantang di jalanan tentang sebuah konsep kilap ah sambil komat kamit pirkoparkapir sementara bahkan konsep menghormati alam yang paling sederhana sekalipun seperti buang sampah pada tempatnya saja kita sudah gak bisa melakukan. Itu baru yang mudah lho. Belum sampai pada cara leluhur kita dulu dimana mereka bahkan meminta dengan baik kepada alam dalam suatu niat baik, misal dalam pekerjaannya. Â Mestakung, atau Semesta mendukung.
Betul betul meminta, atau nembung. Mengambil seperlunya, mengucap syukur atas manfaatnya. Disitu lahir  tembang, yang berasal dari kata tembung atau nembung. Kidung. Dan dari mengucap syukur, lahirlah kebiasaan 'sesaji'. Kebiasaan menghormati para leluhur, dengan mendoakan mereka. Silaturahmi kepada mereka, dengan tetap mendoakan atau berkunjung ke sarean mereka.  Lagi lagi, itu adalah falsafah hidup yang terlihat sederhana namun mengena yang jauh sudah ada sebelum konsep Khilafah itu sendiri ada.
Toleransi atas perbedaan, karena sejatinya betul betul sadar bahwa tidak ada satupun manusia yang diciptakan sempurna, termasuk diri kita masing masing, dengan semua perbedaan yang ada.
Menjadi pemimpin atas diri sendiri dulu, memberikan manfaat kepada manusia dan bumi seisinya. Itu yang benar benar Khalifah. Lantas kenapa sebagian orang mau menghilangkan? Ada beberapa gelintir orang lali weton yang berusaha menghilangkan konsep Rahmatan Lil Alamin dengan menonjolkan kekurangan pemahaman  golongannya sendiri .
Malu lah kalau kita selalu mengobarkan konsep khilafah tapi kaku dengan hanya syariat atau lakunya saja, tapi batin nya ga kena kan? Merasa selalu benar sendiri saja sudah salah. Boleh dan wajib merasa bahwa keyakinan yang dianut adalah yang terbaik. Tapi jangan pernah lupa pada satu hal yang terpenting. Bahwa Tuhan, Gusti, Allah itu Maha.
Bukankah mudah bagi Tuhan untuk menciptakan Surga, Suargo, Heaven, Nirwana, ShangriLa atau Jannah bagi masing masing pemelukNya? Â Coba deh direnungkan kembali, tanpa mengecilkan sama sekali tuntunan yang diyakini, dan tetap dengan konsep Maha itu sendiri. Kita aja masih eksplorasi Mars tanpa benar benar tau apa yang ada disana kok mau bertindak seperti Gusti Allah. Kan bodoh namanya.
Aku apa kata ummatKu, dan apabila Aku berkehendak maka terjadilah. Itu bukan kehendakmu, mblo. Â Sangat mudah bagi Gusti Allah untuk menciptakan Jannah, ushushon hanya bagi ummat Muslim saja, dan kemudian menciptakan 'ruang' yang lain berupa Suargo bagi penghayat kepercayaan Kejawen misal. Surga bagi yang universal, Heaven , Nirwana, atau apapun dan bagaimana pun cara kita menyebutkannya.
Kok mau dikecilkan? Dan yang paling penting lagi ya jelas jelas bagaimana cara kita bersyukur dengan menjaga 'surga' yang sudah kita miliki bersama ini yang sekarang bernama Indonesia. Yang enggak ilang 2030 nanti lho, Mblo. Ucap itu yang baik, karena itu doa. Sori nih, rada kebawa politis.Â
Pancasila Adalah Nurani
Dalam bernegara dan bahasan diatas, ya Pancasila itu hadir sebagai dasar. Tau kan pengertian dasar? Sebuah fondasi. Yang memangku perbedaan masing masing individu, golongan , keyakinan, suku dan ideologi. Dimana kita tidak bisa berada pada satu posisi tanpa sebuah dasar. Ini yang harus betul betul dipahami terlebih dahulu. Ia ( Pancasila) adalah dasar yang merangkum semuanya. Â Ia mewakili satu kebebasan berpikir, yang tentu berdasar kesana. Â Tidak sempurna, jelas, karena kembali lagi meski semua petunjuk yang datang dari Tuhan itu pasti baik, pada akhirnya yang menentukan baik dan tidaknya penerapannya adalah manusianya sendiri.
Yang menjadikan Ia, Pancasila itu sakti atau tidaknya bukan keramat, atau karomah tiap kalimatnya, melainkan bagaimana kita menyikapinya.
Dasar, yang menjadikan satu pemahaman baku setidaknya bagi penulis sendiri. Bahwa negara yang mengayomi, selalu berada di bawah dan diatas kepentingan pribadi, Â suku, ras, golongan dan keyakinan atau agama sekalipun. Mutlak dipahami dan dimengerti.
Tanpa terkecuali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H