Sedari kecil kita diajarkan, bahwa Ibunda, adalah jimat seorang anak yang terbesar. Doa Ibu. Surga, ditelapak kaki Ibu. Â Ibu, Ibu, Ibu, kemudian Bapak. Ingat akan hadist ini? Lantas kenapa kemudian ada pihak yang merasa bahwa Garuda Pancasila itu produk yang 'tak sesuai dengan apa yang mereka imani' ? Lagi lagi, kembali pada faktor ketidaksempurnaan itu sendiri. Manusianya lah yang berpikiran seperti ini, dengan keterbatasan akal, apalagi hati nurani.Â
Khilafah dan Pancasila itu sejatinya sama ?
Kalau anda kebetulan terlahir menjadi seorang manusia Indonesia yang menolak lupa akan asal usulnya, apapun baju yang kini anda kenakan, ya ioni konsep sederhana yang sejatinya sama. Minimal anda bisa mengatakan bahwa, iya, nilai sejati Khilafah ada didalam Pancasila, dan Pancasila pun bisa jadi ada didalam konsep Khilafah. Ini bukan kelirumologi, atau bahkan cocokologi. Falsafah Hidup manusia Jawa sudah mewakili ini.Â
Bagaimana seseorang harus bisa nyelaras dengan bumi seisinya. Semua ciptaan Nya. Tidak melulu konsep horizontal namun juga vertikal. Nyelaras, atau selaras itu apabila pengendalian diri sudah benar benar baik. Dimana konsep sedulur papat limo pancer ditekankan dulu, dalam konteks pribadi. 4 saudara yang mewakili unsur dan sifat, baik dan buruk diselaraskan menjadi satu. "Meminta" untuk semua unsur bergerak bersama sama, tidak ada satupun yang ditonjolkan atau menonjol.
Mengendalikan amarah, nafsu, dan bahkan kebaikan sekalipun. Â Bukan diperangi atau dihilangkan. Itu sama saja kita melupakan satu kodrat yang paling utama : bahwa kita diciptakan sebagai mahluk yang paling sempurna, tapi kita tetap tidak ada yang sempurna.
Disini seseorang betul betul belajar untuk menjadi seorang Khalifah atas dirinya sendiri. Belajar mengenali semua unsur dan meminta bahkan akal yang konon menjadikan kita ini mahluk yang paling sempurna, sudi untuk bersama sama mendengarkan dan mengikuti hati nurani. Konsep Manunggaling Kawulo Gusti--- atau menjadi satunya kawulo( saya; seseorang) dengan Gusti Allah itu bukan berarti kita bertindak sebagai Tuhan. Tapi justru menurunkan ego masing masing unsur untuk mendengarkan dan berlaku sesuai nurani, yang berarti petunjuk dari Tuhan.
Sepertinya gampang, namun benar benar sulit untuk dilakukan. Menjadi Khalifah lah atas diri sendiri dulu. Jangan berusaha menjadi Tuhan dengan mengatakan bahwa saya lebih baik daripada yang lain, karena tuntunan yang turun itu sejatinya bukan itu maksudnya.Â
Kemudian lebih jauh lagi, nyelaras dengan bumi dan seisinya. Alam sekitarnya. Menghormati, alam. Sangat hipokrit , atau maaf , munafik, apabila kita berteriak lantang di jalanan tentang sebuah konsep kilap ah sambil komat kamit pirkoparkapir sementara bahkan konsep menghormati alam yang paling sederhana sekalipun seperti buang sampah pada tempatnya saja kita sudah gak bisa melakukan. Itu baru yang mudah lho. Belum sampai pada cara leluhur kita dulu dimana mereka bahkan meminta dengan baik kepada alam dalam suatu niat baik, misal dalam pekerjaannya. Â Mestakung, atau Semesta mendukung.
Betul betul meminta, atau nembung. Mengambil seperlunya, mengucap syukur atas manfaatnya. Disitu lahir  tembang, yang berasal dari kata tembung atau nembung. Kidung. Dan dari mengucap syukur, lahirlah kebiasaan 'sesaji'. Kebiasaan menghormati para leluhur, dengan mendoakan mereka. Silaturahmi kepada mereka, dengan tetap mendoakan atau berkunjung ke sarean mereka.  Lagi lagi, itu adalah falsafah hidup yang terlihat sederhana namun mengena yang jauh sudah ada sebelum konsep Khilafah itu sendiri ada.
Toleransi atas perbedaan, karena sejatinya betul betul sadar bahwa tidak ada satupun manusia yang diciptakan sempurna, termasuk diri kita masing masing, dengan semua perbedaan yang ada.
Menjadi pemimpin atas diri sendiri dulu, memberikan manfaat kepada manusia dan bumi seisinya. Itu yang benar benar Khalifah. Lantas kenapa sebagian orang mau menghilangkan? Ada beberapa gelintir orang lali weton yang berusaha menghilangkan konsep Rahmatan Lil Alamin dengan menonjolkan kekurangan pemahaman  golongannya sendiri .