Kemudian satu 'pemahaman' yang masuk dari Saudi. Mereka menyebut dirinya sebagai Salafi, namun masyarakat secara umum lebih mengenal dengan nama Wahabbism, mengambil nama dari pencetusnya pada saat itu, Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Bagi para pengikutnya, gerakan ini disebut sebagai satu gerakan 'pemurnian akidah' Islam.
Tak jarang, benturan pun terjadi dengan mereka yang juga mengatas namakan Islam namun telah lebih dahulu lebur dengan adat istiadat di Nusantara. Bagaimana cara 'memurnikan akidah' yang sayangnya dibawa oleh mayoritas salafi di Indonesia dengan cara yang tak elok. Sedikit dari mereka yang mampu berdialog dengan baik sementara yang umumnya terjadi notabene adalah sebuah terjemahan dari culture shock.
Bukan pemurnian akidah yang ingin dilakukan apabila mengunggulkan budaya Arab yang bahkan tidak perlu dipaksakan disini. Atau bahkan gemar mengkafirkan dan menyalahkan yang lain, demi 'tujuan baik'. Tujuan baik dari mana? Dari perjanjian Ibn Saud dengan Ibn Wahhab pada saat itu? Saudi Arabia sendiri, bukanlah contoh Khilafah yang baik. Ia tak lebih dari sebuah Kerajaan Monarki yang memang bernuansa Islam. Namun bukan berarti wajah Islam tercermin di sana, terlebih apabila saat ini kita mengikuti politik Luar Negeri mereka.
Lebih menarik lagi apabila kita bisa membaca lebih dalam tentang Memoirs of Mr. Hempher. Sebuah memoar yang berisi pengakuan yang ditulis oleh seorang agen mata mata Inggris yang menyusup ke Turki pada awal 1700 an dan di dalam pengakuannya, turut 'membidani' Wahabbisme sebagai salah satu upaya untuk memecah belah Islam.
Mau bicara lebih jauh lagi tentang peran Inggris dalam upaya separatisme Islam, kita malah justru bisa belajar dari film yang diangkat dari kisah nyata seorang bernama T.E Lawrence atau film yang lebih dikenal dengan judul Lawrence Of Arabia. Mark Curtis, seorang penulis dan bukunya Secret Affair - British Collision with Radical Islam menyebutkan secara gamblang dan rinci bagaimana perjalanan Kerajaan Inggris dalam menyokong gerakan Muhammad Ibn Wahhab dan Ibn Saud dan bahkan menyokong mereka untuk memantapkan jalan di Timur Tengah.
Hal tersebut terinspirasi dari laporan T.E Lawrence ( Lawrence of Arabia) yang bertajuk "The Reconstruction of Arabia" - tentang betapa pentingnya Inggris untuk segera menentukan sikap dan menyokong pemimpin dari Negara Arab yang akan membantu mereka melawan Kekaisaran Ottoman.
Bicara perpecahan dalam sejarah, kita dapat berkaca pada Perang Padri di Indonesia 1803-1838 .
Perang Saudara yang terjadi pada saat itu dipicu oleh gerakan pemurnian akidah dari para Padri terhadap kaum Adat. Bahkan sejarah mencatat, satu pahlawan Indonesia, Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Beliau adalah seorang Ulama yang diangkat menjadi pimpinan perang dari kaum Padri. Namun Beliau juga menyesalkan tindakan Kaum Padri, dalam kekejaman dalam upaya 'menegakkan syariah pada masa itu.
Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?
Hal yang tertuang didalam catatan bernama Memoire Tuanku Imam Bonjol menjadi catatan penting akan pergerakan pemurnian akidah. Pada akhirnya, saudara sendiri jua yang diperangi.
Indonesia, pasca pemilihan Presiden yang lalu dan yang terakhir adalah pemilihan Gubernur DKI menjadi satu penanda. Di balik ancaman tumbuhnya bibit terorisme yang sedang menunggu kebangkitan, mereka yang sejatinya tak peduli dengan Islam namun memilih 'menunggangi' kaum Muslim di Indonesia demi jalur mengambil alih (kembali) kepemimpinan terlihat semakin terang benderang.