Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Vodka dan Politik SARA di Malaysia - Indonesia

19 Januari 2017   05:35 Diperbarui: 19 Januari 2017   15:17 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih teringat jelas.

Sebuah diskusi yang cukup intens antara penulis dengan seorang sobat dari Malaysia berlangsung beberapa tahun yang lalu.

Saya sempat bertanya kepadanya, Low Yik Hern nama sang sobat itu. Kenapa akhir akhir ini status di laman media sosial Facebooknya selalu berkutat pada satu hal yang 'sepertinya' saat itu bagi saya risih untuk diperbincangkan. Mengapa pada saat itu dia benar-benar getol untuk mempertahankan ke-etnis-annya dia? Sebagai satu etnis Tionghoa yang lahir di Malaysia, yang sedang memperjuangkan haknya yang sebagai minoritas di negara Bumiputera itu haknya seringkali tidak diperhatikan.

"Bro, the election in Malaysia is coming. Most of us here in KL are getting sick with this racial issue being brought up just for the sake of elections. I too feel that I am proud to be a Malaysian. Why some people wanted to treat me and others differently. In this world we're living, today!"

Saya hanya bisa mendengarkan keluh kesahnya dengan rasa keprihatinan yang tinggi. Saat itu bulan Ramadan, di Indonesia. Bersama dengan 2 rekan kami dari Polandia, kami sedang melakukan proyek pemasangan mesin manufakturing di satu kota di Jawa Tengah.

Kebanggaan sebagai seorang Indonesia, tiba-tiba muncul. Dengan berusaha jujur apa adanya, sedikit bercerita tentang sebuah sejarah kelam Indonesia sendiri dimana dulu, pernah ada masanya saat perbedaan etnis menjadi satu permasalahan besar. Yang kemudian semakin mengecil, dan pada akhirnya hampir tidak pernah ditemukan lagi pada saat ini.

Bahwa kami, orang Indonesia tidak pernah lagi membawa sejarah kelam itu di kehidupan kami sehari hari. Ada lah satu atau dua kasus, tetapi bukan secara general. Itu cerita singkat kepada Low, dengan satu upaya membesarkan hatinya bahwa mudah mudahan hal itu akan cepat usai di Malaysia sana.

Hari ini, giliran saya yang tersenyum kecut apabila mengingat lagak sok wise dan kebanggaan pribadi menjadi orang Indonesia. Ternyata, isu yang sama terkait etnis dan agama semenjak periode pemilihan Presiden lalu di Indonesia masih 'laku' untuk dimainkan disini. Low mungkin juga sedang sedikit tertawa, saat melihat laman Facebook saya yang banyak dipenuhi oleh umpatan rasa kesal dan 'perang' norak bin sampah ini.

Sampai pada akhirnya 'sempat' tersadar. Bahwa saya, dan jutaan rakyat Indonesia lainnya hanyalah sebuah pasar. Bukan pion dalam catur, jangan salah. Pasar.

Pasar di mana para penjual, yakni politikus politikus busuk ini tahu pasti produk apa yang laku dijual. Dimana isu menyangkut agama adalah sesuatu yang laku untuk dimainkan. Mainkan tuh barang, berulangkali saat demand betul-betul tinggi.

Jangan merasa dibodohi, karena sebetulnya bukan bodoh. Hanya terlalu polos dan mudah mengambil sikap secara mentah apabila sudah merasa dicolek masalah yang dua itu: warna kulit, dan keyakinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun