[caption caption="Ilustrasi | Foto: Ajie Nugroho - Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]Gak tau dengan rata-rata penulis atau blogger yang ada di Kompasiana yang lain.
Sebelum disini, boro-boro bisa nulis yang baik. Atau minimal nih, ngerti istilah blog, blogging atau blogger? Karya tulis yang saya ingat (dan ingat) gak jauh dari judul "Berlibur Ke Rumah Nenek ".
Satu tulisan yang entah kenapa kalau bersandar dengan istilah sekarang selalu jadi trending topic selepas liburan sekolah dasar. Tidak ada bumbu atau bahkan kreativitas atau bahkan imajinasi ala anak anak. Semua melulu hasil pelaporan mengenai kegiatan saat liburan. Beberapa yang di daerah seperti kami pun ada yang memilih tema Berlibur ke Jakarta.
Ini nyata, dan tolong jangan diketawain ya?
Beneran, bisa ngeliat Monas dan bercerita tentang hal itu didepan anak satu kelas pada saat itu seperti sebuah kebanggaan tersendiri. Saat uang masih sulit namun entah kenapa hati ini tetap hepi, Jakarta itu metropolitan. Gak keren kalau belum pernah kesana. Keterbatasan informasi, transportasi dan yang lain menjadi sebab kenapa Jakarta hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya duit saja di daerah. Bukan semuanya.Â
Disini, Jakarta dan "wah"Â nya sebetulnya sekedar bumbu atau polesan saja. Bagi mereka yang mungkin merasa sama dengan saya, mana senyumannya? Tapi sebetulnya inti dari tulisan ini bukan tentang Nenek, ataupun Jakarta sendiri. Ini tentang satu karya tulis, dengan bentuk pelaporan. Sebuah penggambaran yang tidak didukung oleh gambar pada saat itu, kecuali mungkin guntingan dari sebuah majalah lama.
Ini reportase jujur seorang anak kecil. Bisa jadi, ini reportase awal dari anak itu sendiri. Sebagian dari anak anak itu bisa berkembang menyukai hal menulis tadi dan memilih kesukaan masing masing. Entah itu menjadi seorang penyair, penulis berimajinasi tinggi atau memilih jalur reportase'jujur' tadi dan berkembang didalam jurnalisme
Jurnalisme adalah penyakit. Dan kembali ke Kompasiana, ia telah menciptakan monster monster yang berbakat.
Sebetulnya tak perlu juga bolak-balik menjelaskan bahwa waktu tumbuh Kompasiana pun sejalan dengan era komunikasi yang semakin terbuka. Saat pelajaran demokrasi sebenarnya sedang berjalan saat ini, kita, orang Indonesia yang awalnya masih jauh tertinggal ternyata suka gak suka, mau tidak mau, kudu ngaku bahwa laman yang menjengkelkan karena hobinya yang main tenis ini ternyata sarat pelajaran tentang jurnalisme, jurnalistik dan bagaimana menjadi seorang jurnalis.
Dibilang wartawan bukan, hanya saja bahkan untuk riset satu artikel saja mungkin mengalahkan mereka yang benar benar mengerti kaidah jurnalistik dan mengantongi kartu bernama Press me if you can. Dengan bentuk yang mungkin jauh dari sempurna atau bisa jadi seringkali dipandang sebelah mata oleh mereka yang ngaku sebagai jurnalis beneran.
Tapi, dengan keterbatasan dan ilmu ala kadarnya ini kadang sebuah artikel atau reportase menjadi lebih jujur. Tak terikat pada satu institusi. Tanggung jawab bahwa itu adalah pekerjaan. Seorang sahabat bahkan sempat bilang bahwa karena tanpa beban, mereka mereka ini konon justru jadi "lebih asyik" ketimbang mereka yang harus benar benar profesional didalam bidangnya.
Kita amatir. Bukan hanya dari sisi kekurangan yang ada, tapi kita melakuikannya tanpa bayaran ! Sesuatu yang dilakukan dengan hati, apa adanya, blunt dan kadang terlalu jujur tanpa filter. Seperti cerita "Berlibur Di Rumah Nenek, atau Jakarta, atau Nenek yang tinggal di Jakarta " tadi.Â
Jurnalisme adalah penyakit. Â Ia tidak berhenti begitu saja. Ingin tahu tidak begitu saja berhenti. Adiktif. Di masa saat menulis ini sebetulnya tanpa kertas seperti sekarang ini dan mudah, ia semakin bebas tak terkendali. Rambu rambu pun dibuat, karena validitas akan sebuah pelaporan atau reportase pun perlu dilakukan.Â
Hoax, menjadi sebuah masalah besar. Namun bagi para penulis berbakat ataupun mereka yang  udah terbentuk menjadi seorang jurnalis pun entah sadar atau tidak memang tidak bisa berhenti. Â
Anda merasakan rasa kehausan akan sebuah informasi? Melihat sesuatu  dan merasakan satu yang meledak amat sangat dan ingin menuangkan pada sebuah pelaporan dengan juga tujuan berbagi? Kalau saya yang awam sangad dengan dunia nulis ataupun jurnalisme, jurnalistik ataupun jurnalis ini dan juga kebanyakan dari kita sekalian bisa "tos tinju" dan berkata "I Feel you, Bro or Sis" dengan perasaan ini sekarang tiba pertanyaan epic nya:
Apakah anda benar benar yakin, bahwa mereka yang sudah mencintai dunia jurnalisme sedemikian rupa dan bahkan dibekali dengan pengalaman yang panjang dapat begitu saja lupa atau lebih parahnya bisa meninggalkan sesuatu yang merupakan berita?
Terikat sesuatu yang membatasi sih mungkin mungkin saja. Berusaha untuk tak nampak demi sebuah korporasi pun bisa dilakukan. Idealis dengan cermat.
Namun, gak mungkin, bisa menghilangkan keinginan semerta merta hanya karena satu aturan dan yang lain. Â Saya kok yakin 'jiwa jiwa' itu kok nangkring di ujud yang lain. Karena satu hal yang tidak bisa di bohongi dengan segala macam aturan atau yang lain adalah hati sendiri kan?
Saat kita mempertanyakan satu kebijakan atau sosok mengapa dan kenapa seolah olah seperti enggan mendorong atau mati suri tak proaktif, kok malah jadi yakin bahwa mereka itu bahkan mendorong kita dibelakang. Dengan arti positif tentunya.
Apa yang kita yakini bisa berbalik di Kompasiana sendiri. Sudah ada dan banyak contohnya. Bukannya jadi terlalu naif ( lagi) apabila pada akhirnya untuk yang "itupun" kita berpikir apa adanya?
Pertanyaan ini gak perlu jawaban kok. Kita punya jawaban masing masing.Â
Sekali Berlibur Ke Rumah Nenek atau Liat Monas, pantang pulang sebelum tumbang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H