Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalisme Itu Penyakit?

26 September 2015   04:47 Diperbarui: 27 September 2015   13:10 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita amatir. Bukan hanya dari sisi kekurangan yang ada, tapi kita melakuikannya tanpa bayaran ! Sesuatu yang dilakukan dengan hati, apa adanya, blunt dan kadang terlalu jujur tanpa filter. Seperti cerita "Berlibur Di Rumah Nenek, atau Jakarta, atau Nenek yang tinggal di Jakarta " tadi. 

Jurnalisme adalah penyakit.  Ia tidak berhenti begitu saja. Ingin tahu tidak begitu saja berhenti. Adiktif. Di masa saat menulis ini sebetulnya tanpa kertas seperti sekarang ini dan mudah, ia semakin bebas tak terkendali. Rambu rambu pun dibuat, karena validitas akan sebuah pelaporan atau reportase pun perlu dilakukan. 

Hoax, menjadi sebuah masalah besar. Namun bagi para penulis berbakat ataupun mereka yang  udah terbentuk menjadi seorang jurnalis pun entah sadar atau tidak memang tidak bisa berhenti.  

Anda merasakan rasa kehausan akan sebuah informasi? Melihat sesuatu  dan merasakan satu yang meledak amat sangat dan ingin menuangkan pada sebuah pelaporan dengan juga tujuan berbagi? Kalau saya yang awam sangad dengan dunia nulis ataupun jurnalisme, jurnalistik ataupun jurnalis ini dan juga kebanyakan dari kita sekalian bisa "tos tinju" dan berkata "I Feel you, Bro or Sis" dengan perasaan ini sekarang tiba pertanyaan epic nya:

Apakah anda benar benar yakin, bahwa mereka yang sudah mencintai dunia jurnalisme sedemikian rupa dan bahkan dibekali dengan pengalaman yang panjang dapat begitu saja lupa atau lebih parahnya bisa meninggalkan sesuatu yang merupakan berita?

Terikat sesuatu yang membatasi sih mungkin mungkin saja. Berusaha untuk tak nampak demi sebuah korporasi pun bisa dilakukan. Idealis dengan cermat.

Namun, gak mungkin, bisa menghilangkan keinginan semerta merta hanya karena satu aturan dan yang lain.  Saya kok yakin 'jiwa jiwa' itu kok nangkring di ujud yang lain. Karena satu hal yang tidak bisa di bohongi dengan segala macam aturan atau yang lain adalah hati sendiri kan?

Saat kita mempertanyakan satu kebijakan atau sosok mengapa dan kenapa seolah olah seperti enggan mendorong atau mati suri tak proaktif, kok malah jadi yakin bahwa mereka itu bahkan mendorong kita dibelakang. Dengan arti positif tentunya.

Apa yang kita yakini bisa berbalik di Kompasiana sendiri. Sudah ada dan banyak contohnya. Bukannya jadi terlalu naif ( lagi) apabila pada akhirnya untuk yang "itupun" kita berpikir apa adanya?

Pertanyaan ini gak perlu jawaban kok. Kita punya jawaban masing masing. 

Sekali Berlibur Ke Rumah Nenek atau Liat Monas, pantang pulang sebelum tumbang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun