Ngaku salah, tidak mengaku lebih salah lagi.
Itulah posisi yang dihadapi oleh TNI dan Polri terkait dengan penyelidikan insiden atau eksekusi di Lapas Cebongan sendiri. Â Setelah konfirmasi dari tim penyidik TNI bahwa memang 11 oknum anggota kesatuan elit Kopassus terlibat disana, Mabes Polri mengambil langkah awal dengan penggantian Kapolda DIY Brigjend Pol Sabar Raharjo yang bisa diindikasikan terlibat dengan aksi eksekusi itu sendiri atau paling tidak baik secara langsung atau tidak langsung, Kapolda DIY pun bertanggung jawab atas keputusan pemindahan tahanan ke Lapas Cebongan yang akhirnya berbuntut eksekusi tersebut.
TNI pun tidak kalah langkah. Setelah 'mengakui' memang ternyata salah satu dari keluarganya lah yang terlibat, pencopotan Pangdam IV Diponegoro Hardiono Saroso menjadi sebuah antiklimaks. Â Hardiono Saroso yang sempat membantah keterlibatan anggota TNI dengan tegas pada akhirnya harus bisa mengakui dan menerima hasil dari penyidikan yang berkata sebaliknya dan mempertanggung jawabkan ucapannya.
Apakah masyarakat umum sudah cukup puas dengan temuan penyidikan tersebut dan juga penggantian kedua pemegang komando tertinggi di tubuh TNI dan Polri di Jawa Tengah dan DIY sendiri? Sejatinya, masyarakat umum sudah puas terlebih dahulu dan bahkan mengapresiasi tindakan dari para oknum Kopassus yang melakukan eksekusi tersebut.
Rasa keamanan yang selama ini dirindukan sepertinya terbayarkan. Dan tampaknya, cerita ini sendiri akan berhenti sampai disini.
Apa Motifnya?
Sebelum hasil temuan oleh tim Investigasi TNI di serahkan ke masyarakat umum, sempat terdengar kabar bahwa motif penyerangan Lapas tersebut sejatinya terkait dengan bisnis narkoba yang telah memasuki sendi para penegak hukum di tubuh Polri dan juga para pengemban Sapta Marga, dalam hal ini TNI sendiri. Sempat beredar sebuah tulisan di berbagai sosial media yang cukup kontroversial lengkap dengan kemampuan forensik sang penulis yang membuat para pembaca sedikit bertanya tanya dan mempercayainya. Aroma teori konspirasi berbalut konfesi dari 'orang dalam' sangat memperkuat dugaan bahwa memang disini ada perseteruan dibalik sebuah persaingan bisnis narkoba.
Hal yang kemudian dibantah secara keras oleh temuan tim investigasi TNI ; bahwa sejatinya motif yang melatarbelakangi bisa dibilang cukup sederhana : Kekuatan solidaritas korps dan keputus asaan pada hukum yang berlaku sekarang ini. Â Aksi tersebut dilakukan secara spontan, tidak terencana.
Kedua motif tersebut jelas lebih mudah untuk diterima bagi orang awam. Tetapi spontanitas dan tidak terencana sedikit susah untuk diterima akal sehat. Sepertinya, pernyataan resmi tentang spontanitas dan tidak terencana memang dipersiapkan untuk menghadapi tuntutan hukum , dan sedikit memutus rantai komando dan juga motif sebenarnya yang sepertinya tidak sesederhana demikian.
Meski demikian, rasa solidaritas dan perasaan simpati yang dibangun di mata masyarakat memang sudah benar benar mengalahkan akal sehat. Â Keputus asaan masyarakat pada hukum yang berlaku sekarang ini menjadi sebuah 'pemicu' yang sangat mudah terbakar. Gangguan dan ancaman yang dilakukan oleh para preman yang tentu menimbulkan keresahan di masyarakat menjadi sebuah pembenaran. Justifikasi akan eksekusi yang dilakukan oleh 11 orang oknum satuan elit terhadap empat pemuda berlabel preman.
Kata kata 'asas praduga tak bersalah' atau status tersangka pun tak ada artinya sama sekali. Hak Asasi Manusia? Lebih sulit untuk di kenali saat kebanyakan masyarakat sudah didalam posisi 'terluka' atas nama hukum yang berlaku. Sebuah kesalahan yang mendapatkan permakluman. Area abu abu yang berbicara.
Di satu sisi, keterbukaan TNI di kasus ini bisa dibilang cukup menggembirakan dan layak diberikan apresiasi. Â Meski demikian, tetap menimbulkan pertanyaan. Â Sifat terbuka TNI pun mendapatkan apresiasi resmi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada akhirnya pun substansi pernyataan tersebut mendapat kecaman di masyarakat, walaupun tidak sebanyak dukungan terhadap aksi eksekusi itu sendiri.
Yang tidak tampak namun tetap terasa janggal adalah cara eksekusi yang dilakukan oleh oknum satuan elit tersebut. Terlalu 'jorok'  dan emosional  untuk sebuah pasukan terlatih. Dan sepertinya, jejak remah remah roti memang sengaja ditabur bagi para pencari jejak untuk dengan mudah mengikutinya ke Kandang Menjangan, rumah bagi mereka semua.
2014 sudah dekat. Apakah sebetulnya pesan yang hendak disampaikan di kasus ini? Bahwa dwifungsi ABRI yang sempat digembosi dan mendapat penolakan rakyat akan kembali ? Perlawanan atas keistimewaan Polri yang didapat pada era Presiden Megawati?
Apakah ini adalah perlawanan antara calon yang nantinya mengusung misi humanis, hak asasi manusia dan ketegakan hukum versus figur militer yang tampaknya dirindukan oleh rakyat Indonesia yang merasa sedang dipermainkan harga dirinya sebagai sebuah bangsa yang sempat besar ?
Cloak and Dagger yang bisa jadi terlalu rumit untuk diejewantahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H