Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merantau adalah Pembentukan Karakter

2 Agustus 2012   20:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:18 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca posting dari Mas Teguh Suprayogi membuat tersenyum dan mengenang pengalaman 2o tahun yang silam.  Sebuah petualangan dan pembentukan karakter  yang menjadi bagian dari kehidupan sampai dengan saat ini.

Terlalu badung saat di bangku SMA. Itulah awalnya kenapa saya musti merantau.

Saat belum bisa membedakan apa itu keberanian dan apa yang dikatakan sebagai nekat dan bentuk kebodohan. Itu saja. Dan sikap itu jugalah yang mengantar saya untuk akhirnya menerima tantangan  merantau dari Bapak.  Tidak diusir, tapi benar benar ditantang.

Bapak yang merasa khawatir, saat suatu saat melihat saya 'dijemput' dirumah  oleh petugas berseragam . Bukan khawatir karena bakal terjadi apa apa, karena Bapak sudah lama menanamkan apabila berbuat salah, harus belajar menerima konsekuensinya. Tapi lebih khawatir saat melihat raut muka saya yang santai, bahkan masih sempat mengenakan celana pendek sebelumnya. Saat ditanya, saya hanya menjawab dengan nalar sederhana , "Kan di dalem sel gak boleh pakai celana panjang ? ".  Sederhana karena terbiasa.

Dan karena bentuk pemikiran saya yang masih bodoh itulah, pada akhirnya orang tua harus mengambil sikap tegas.  Dan wejangan tersebut pun akhirnya dilakukan.

Lelaki, harus bisa hidup sendiri. Mandiri dan mengambil sikap.  Mengambil pelajaran pahit apabila salah, dan menerima kebaikan apabila menanamnya.  Beranikah hidup sendiri?  Itu wejangan dan pertanyaan dari Bapak. Dan karena rasa gengsi, tantangan itu juga diterima.  Tiba saatnya, saat kelulusan SMA dan tantangan tersebut mengambil perannya.

Dibekali dengan sedikit uang, dan bayaran semester pertama untuk kuliah, saya pun berangkat.  Sendiri, ke suatu tempat yang sama sekali belum pernah dikunjungi dan dimengerti. Baik dari segi bahasa, kebudayaan dan yang lain.  Masih ingat jelas, bagaimana paniknya saat tiba disana. Cari transportasi, untuk tujuan pondokan yang dituju.  Tanya sana tanya sini. Berbekal kamus kecil yang disimpan sampai sekarang, hanya untuk kenangan.

Culture shock, jelas dialami.  Cari teman dulu, itu yang tidak sulit untuk dilakukan. Kemudian yang lain. Dari mulai tidak bisa masak, jadi kenal bumbu dapur karena memang harus masak sendiri. Demi efisiensi. Kenalan sana, kenalan sini. Semua dari tempat kuliah. Jelas harus cari kerja , untuk biaya kuliah dan juga hidup sehari hari. Kerjaan yang pertama, adalah membersihkan tumpukan besi tua di hanggar pesawat yang tak terpakai.

Lumayan, karena kerja kasar memang upahnya benar benar dihargai disana.  Kemudian berpindah pindah. Dari barback atau pembantu bartender, tukang cuci piring, sampai dengan menjadi seorang asisten butcher atau tukang jagal daging disebuah toko kecil yang menyediakan produk halal.

Semua dilakoni, dan dari pertama yang tidak biasa, malah jadi nagih rasanya. Susahnya, capeknya minta ampun karena pagi harus kuliah dan baru bisa kerja pada sore harinya. Itupun hanya bisa maksimal 5 jam sehari, pada awalnya.  Semua dilakukan pada tahun pertama.

Tahun kedua? Harus mengambil cuti kuliah dulu.  Berbekal surat keterangan dari sekolah dan pertolongan seorang rekan yang kebetulan sudah merantau duluan , saya pindah kota. Di kota yang baru itu, dibantu rekan yang tadi, mendapat lagi sebuah pekerjaan.

Lagi lagi, jadi tukang cuci piring.  Tak kenapa, toh yang penting halal kan? Dan lebih bagus lagi, karena si bos di tempat pekerjaan baik, makan siang ( apabila kerja shift siang) bahkan makan malam pun terjamin. Total 12 jam bekerja setiap hari, tak kurang.  Dari cuci piring, sedikit berkembang masuk ke dapur pada bagian salad. Kemudian , diberi kepercayaan lagi untuk mencoba bekerja sebagai waiter, di bar dan terakhir menjadi asisten pembantu Chef. Masih yang ringan ringan dulu masaknya.

Karena kadung cinta dengan kota yang ini, akhirnya memutuskan untuk transfer kuliah di kota yang baru. Berbekal referensi dari sekolah yang lama, akhirnya saya kembali lagi ke bangku kuliah. Sudah bisa bayar sendiri untuk masuk dan uang sekolahnya, dari tabungan selama bekerja.

Dan mulailah, hari hari gila saat pagi pagi harus berangkat kuliah sementara baru saja selesai kerja shift malam dan merebahkan diri di kasur pukul 3 dini hari.  Benar benar tak punya waktu untuk belajar, jadi saat di dalam ruang kuliah wajib hukumnya untuk benar benar mendengarkan.  Alhamdulillah, karena terbiasa, justru cara seperti itu tak menjadi beban, walaupun kadang kaki di kelas terasa kebas karena masih merasakan harus berdiri lama saat bekerja malam sebelumnya.Yang terberat adalah mengusir rasa malas, saat harus berangkat bekerja.

Kadang timbul rasa iri, saat melihat teman teman kuliah yang tak perlu bekerja. Beberapa sahabat yang sama sama dari Indonesia, namun cukup diberi kelebihan. Tugas mereka hanya belajar, tak lebih.  Semua ditanggung oleh orang tua masing masing. Tapi di saat yang sama, bisa senang saat bisa membantu untuk  menginspirasi mereka. Minimal, waktu jaman itu menjauhkan mereka  dari 'bentuk bentuk kenakalan' dan juga kegagalan.  Kebanyakan dari mereka sudah berpindah pindah sekolah, bahkan negara, sebelum akhirnya bertemu di sana.  Tak selesai, dari satu tempat ke tempat lain.  Dan bandel, itu lah kenapa mereka berpindah pindah. Sama seperti saya dulu, di usia yang sedikit lebih muda.

Cukup dengan menolak tegas, walau kita bersahabat. Menjelaskan sesuai apa yang bisa. Kalau masih mau begini, ngapain kita jauh jauh kesini? Itu penjelasan saya.  Cukuplah bandel di Indonesia saja, itu juga kalau masih mau dan doyan. Disini wajib hukumnya untuk berprestasi. Jangan mau kalah dengan 'mereka'.  Ya , mereka yang dimaksud disini adalah para penduduk asli negara itu. Bukan rasis atau gimana, hanya tidak mau diperlakukan sebagai warga kelas dua.  Minimal berprestasi sama, dan kalau bisa  harus  lebih baik. Tak ada kata mundur dan harus berhasil. Tidak ada kata pulang , atau menyerah sebelum mengantongi sebuah ijazah dan sebentuk pengalaman.

Berbekal tekad, akhirnya perjuangan saat itu pun sampai pada lini terakhir. Lulus, dengan memuaskan. Bisa kembali ke tanah air dengan sedikit kontribusi.

Suka dan duka hidup dan berjuang di negeri orang. Sebagai seorang perantauan, sebagai seorang minoritas.  Belajar mengerti makna bertahan hidup, berjuang dan harus berprestasi. Mempelajari hidup dari membuat kesalahan, memperbaikinya dan berbuat kesalahan lagi. Hidup dengan segala kelebihan , kekurangannya, dan menikmati perjalanannya.

Perjuangan belum berakhir sekarang.   Kesalahan? Ya masih saja melakukannya.  Semua bagian dari pelajaran yang belum selesai. Merantau lagi? Sudah sempat dilakoni kembali, dan saat ini, sedang ingin merasakan nikmatnya hidup di kampung halaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun