Lagi lagi, jadi tukang cuci piring. Â Tak kenapa, toh yang penting halal kan? Dan lebih bagus lagi, karena si bos di tempat pekerjaan baik, makan siang ( apabila kerja shift siang) bahkan makan malam pun terjamin. Total 12 jam bekerja setiap hari, tak kurang. Â Dari cuci piring, sedikit berkembang masuk ke dapur pada bagian salad. Kemudian , diberi kepercayaan lagi untuk mencoba bekerja sebagai waiter, di bar dan terakhir menjadi asisten pembantu Chef. Masih yang ringan ringan dulu masaknya.
Karena kadung cinta dengan kota yang ini, akhirnya memutuskan untuk transfer kuliah di kota yang baru. Berbekal referensi dari sekolah yang lama, akhirnya saya kembali lagi ke bangku kuliah. Sudah bisa bayar sendiri untuk masuk dan uang sekolahnya, dari tabungan selama bekerja.
Dan mulailah, hari hari gila saat pagi pagi harus berangkat kuliah sementara baru saja selesai kerja shift malam dan merebahkan diri di kasur pukul 3 dini hari. Â Benar benar tak punya waktu untuk belajar, jadi saat di dalam ruang kuliah wajib hukumnya untuk benar benar mendengarkan. Â Alhamdulillah, karena terbiasa, justru cara seperti itu tak menjadi beban, walaupun kadang kaki di kelas terasa kebas karena masih merasakan harus berdiri lama saat bekerja malam sebelumnya.Yang terberat adalah mengusir rasa malas, saat harus berangkat bekerja.
Kadang timbul rasa iri, saat melihat teman teman kuliah yang tak perlu bekerja. Beberapa sahabat yang sama sama dari Indonesia, namun cukup diberi kelebihan. Tugas mereka hanya belajar, tak lebih.  Semua ditanggung oleh orang tua masing masing. Tapi di saat yang sama, bisa senang saat bisa membantu untuk  menginspirasi mereka. Minimal, waktu jaman itu menjauhkan mereka  dari 'bentuk bentuk kenakalan' dan juga kegagalan.  Kebanyakan dari mereka sudah berpindah pindah sekolah, bahkan negara, sebelum akhirnya bertemu di sana.  Tak selesai, dari satu tempat ke tempat lain.  Dan bandel, itu lah kenapa mereka berpindah pindah. Sama seperti saya dulu, di usia yang sedikit lebih muda.
Cukup dengan menolak tegas, walau kita bersahabat. Menjelaskan sesuai apa yang bisa. Kalau masih mau begini, ngapain kita jauh jauh kesini? Itu penjelasan saya.  Cukuplah bandel di Indonesia saja, itu juga kalau masih mau dan doyan. Disini wajib hukumnya untuk berprestasi. Jangan mau kalah dengan 'mereka'.  Ya , mereka yang dimaksud disini adalah para penduduk asli negara itu. Bukan rasis atau gimana, hanya tidak mau diperlakukan sebagai warga kelas dua.  Minimal berprestasi sama, dan kalau bisa  harus  lebih baik. Tak ada kata mundur dan harus berhasil. Tidak ada kata pulang , atau menyerah sebelum mengantongi sebuah ijazah dan sebentuk pengalaman.
Berbekal tekad, akhirnya perjuangan saat itu pun sampai pada lini terakhir. Lulus, dengan memuaskan. Bisa kembali ke tanah air dengan sedikit kontribusi.
Suka dan duka hidup dan berjuang di negeri orang. Sebagai seorang perantauan, sebagai seorang minoritas. Â Belajar mengerti makna bertahan hidup, berjuang dan harus berprestasi. Mempelajari hidup dari membuat kesalahan, memperbaikinya dan berbuat kesalahan lagi. Hidup dengan segala kelebihan , kekurangannya, dan menikmati perjalanannya.
Perjuangan belum berakhir sekarang. Â Kesalahan? Ya masih saja melakukannya. Â Semua bagian dari pelajaran yang belum selesai. Merantau lagi? Sudah sempat dilakoni kembali, dan saat ini, sedang ingin merasakan nikmatnya hidup di kampung halaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H