Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Paling Indonesia

17 Juli 2012   06:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:53 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah melihat seorang copet atau maling yang tertangkap massa? Entah kenapa yang tidak dicopet bisa lebih marah daripada yang dicopet. Menghajar si copet secara beramai ramai tanpa memperdulikan sama sekali apa yang dirasakan oleh si pesakitan.

Tanpa mau tau, kenapa si copet tersebut melakukannya. Bikin salah, ya inilah akibatnya. Dihajar ramai ramai merupakan sebuah 'hukuman' dari masyarakat atas kelakuan si copet tadi.

Orang yang sedang meluapkan amarah yang berlebihan itu seperti kesurupan. "Trance", kalau istilah jawanya.  Beringas, sadis dengan mata melotot . Umpatan, makian ditujukan kepada si objek.   Pukulan dan tendangan bertubi tubi.

Semua seperti tak perduli jeritan kesakitan atau permohonan ampun dari si pesakitan.  Tak akan ada yang berhenti sampai si empu berhenti menjerit , entah karena pingsan atau bisa jadi tewas. Biar kapok, atau jera, itu alasan kenapa massa begitu beringas melakukannya.

Pelampiasan atas kekesalan akumulatif yang terjadi dengan sistem hukum yang bobrok, pernah merasakan kerugian atau keresahan sebagai seorang korban yang dicopet atau murni pelampiasan kemarahan atas keadaan yang mungkin sama sekali tidak ada hubungannya  sama sekali ?

Massa tersebut tak pernah mau mengerti, apakah alasan si copet melakukannya. Salah ya salah. Massa juga tidak akan sempat bertanya ke si copet apakah dia punya keluarga di rumah. Apa si copet punya anak, yang bisa jadi sedang butuh buku untuk sekolah. Salah ya salah.

Massa juga tak akan berhenti untuk bertanya, apakah dia butuh pekerjaan, sehingga bisa berhenti mencopet?

Salah, sudah semestinya dihakimi.  Itu sudah 'budaya' kita yang terkenal ramah tamah itu

( kata orang, konon, katanya)

Tak jarang, penghakiman massa tersebut 'salah alamat'. Seorang yang diduga 'copet' tadi pun ternyata bukan seorang pelaku. Hanya karena 'muka' copet atau diteriakin copet oleh sekeliling pasar, akhirnya diapun menjadi sasaran pelampiasan kemarahan.

Dulu pernah kejadian di Indonesia, beberapa orang yang diduga sebagai 'dukun santet' atau melakukan praktek perdukunan di bantai habis habisan.  Pendapat umum yang bergulir dari 'katanya', dan hanya keyakinan di hati sebagian orang yang meyakini bahwa si A atau B tersebut adalah seorang 'dukun santet'.

Padahal apa yang diyakini sebagian orang itu belum tentu benar.  Dari satu mulut berkembang ke yang lain , dan dari apa yang tadinya hanya 'katanya'  sontak berubah menjadi satu keyakinan. Ya, dia memang seorang dukun santet, dan ya, dia harus kita adili.

Apabila pada kenyataanya sosok si dukun santet tadi ternyata  pada kesehariannya bisa menjadi seseorang yang lebih arif  dan bijak daripada keseharian orang baik pada umummnya yang  tak lagi jadi soal.

Tunjuk dulu, soal benar tidaknya tak jadi masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun