Mohon tunggu...
Basis Kata
Basis Kata Mohon Tunggu... Mahasiswa - "Tetaplah membumi dengan tulisan yang melangit"

Sebuah persepsi kiranya akan mati dan tak berguna jika tidak diabadikan maupun dibagikan ke sesama makhluk hidup. Maka dari itu melalui setiap tulisan, sejatinya persepsi itu akan terus abadi pun demikian dengan penulisnya. Menulislah agar kau tetap terus ada🌹 Tentang makhluk yang ingin abadi dalam tulisannya. Bernama lengkap Syahrul Gunawan lahir di Bontang, 10 Maret 1999. Beralamat di Ralla, Kab. Barru dan saat ini berdomisili di Jl. Andi Djemma, Lr. 5C, Kota Makassar. Menempuh pendidikan di SDI Kompleks Ralla (2005-2011), SMPN 1 Tanete Riaja (2011-2014), SMAN 5 Barru (2014-2017), S1 Manajemen FEB UNM (2017-2022).

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kaderisasi di Tengah Pandemi: Prematur tapi Butuh Regenerasi

7 September 2021   19:07 Diperbarui: 7 September 2021   19:17 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaderisasi di Tengah Pandemi: Prematur Tapi Butuh Regenerasi

Dunia mahasiswa merupakan dunia yang penuh dengan gejolak, pergulatan pemikiran sebab mahasiswa senantiasa diidentikkan dengan insan akademis. Pun jika kita menilik sejarah gerakan mahasiswa yang pernah menumbangkan rezim yang otoriter. Hal itu bisa terjadi dikarenakan pola pikir yang berkembang dengan hadirnya ruang-ruang intelektual dalam kehidupan kampus. Memang sudah tidak diragukan lagi terkait peran nyata mahasiswa dalam lingkungan sosial maupun poitik.

Dewasa ini, bisa dikatakan ada degradasi pemikiran mahasiswa yang disebabkan menurunnya kadar semangat berorganisasi di tengah transformasi sosial yang ekstrim yakni pandemi covid-19 yang melanda. Hal tersebut kemudian merubah pola interaksi dan komunikasi kita, sebab lebih banyak bersua di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Adanya pembatasan sosial ini tentunya sangat berdampak pada dunia mahasiswa, terkhusus pada organisasi kemahasiswaan.

Dampak paling dominan sebenarnya dirasakan oleh mahasiswa baru/angkatan korona (2019-2021). Mengapa demikian? Ini disebabkan mereka yang lebih merasakan dampak nyata masa transisi antara perkuliahan luring dan daring. Kurikulum darurat ini membuat mereka mesti mampu beradaptasi dengan cepat. Angkatan 2019 misalnya, yang hanya merasakan kuliah luring satu semester lebih atau angkatan 2020 dan 2021 yang sedari menjadi seorang mahasiswa sudah merasakan kuliah daring. Tentunya, ada perbedaan yang mendasar terkait pola pikir ataupun mental dari mahasiswa, apalagi tidak merasakan bagaimana kehidupan kampus yang ideal.

Kehidupan kampus yang begitu kompleks ini menjadikan mahasiswa di dalamnya begitu beragam, sehingga kadangkala juga mengakibatkan berbagai konflik yang bagi mahasiswa itu sendiri sudah menjadi hal yang lumrah. Masalah membuat kita dewasa, membuat kita menjadi lebih baik lagi, barangkali seperti itu. Terlepas akan hal itu, sistem yang terbangun dalam kehidupan kampus ialah keterikatan senior dan junior yang terbalut dalam pola kaderisasi. Senioritas yang terbangun bergantung pada bagaimana budaya organisasinya.

Bung Hatta pernah bertutur mengenai kaderisasi, bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam. Olehnya kaderisasi diibaratkan juga sebagai jantung bagi organisasi, tanpa adanya kaderisasi rasanya sulit dibayangkan suatu organisasi mampu bergerak maju dan dinamis. Hal ini karena kaderisasilah yang menciptakan embrio-embrio baru yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan organisasi. Kaderisasi semestinya menciptakan seorang yang betul-betul mampu mengemban amanah bukan karena dia yang hanya berada dalam satu cyrcle saja.

Sebuah organisasi yang mapan adalah organisasi yang mampu bergerak ke arah yang positif serta mampu terus ada walau diterpa berbagai gejolak. 

Ini hanya bisa dicapai ketika setiap proses kaderisasi tersebut betul-betul menggembleng karakter kepemimpinan serta membangun pola pikir yang terbuka dan ilmiah. 

Dalam hal ini seorang mahasiswa baru yang menjadi objek kaderisasi, bisa dikatakan seorang bayi yang dididik hingga nantinya mampu mengemban kehendak upaya melanjutkan tongkat estafet organisasi.

Permasalahan yang hadir sebetulnya karena kurikulum darurat atau perkuliahan daring di tengah pandemi ini kemudian berimbas pada pola kaderisasi yang sudah ada. Kebanyakan organisasi masih belum mampu bertindak adaptif-solutif dalam menyikapinya. 

Semestinya ada penyesuaian dengan kondisi, sehingga tidak menciptakan kader yang prematur dalam berorganisasi. Ketidakmampuan terlepas dari kungkungan senioritas salah satu faktor penyebabnya. Ketika sudah seperti itu, yang menjadi korban ialah kader sebagai objek kaderisasi akibat dari doktrin senioritas tadi.

Mahasiswa baru yang notabene tidak tahu-menahu seputar kehidupan kampus seperti apa perlu bimbingan dari senior yang sudah lama berkecimpung di dunia kampus dengan memberikan pengajaran yang membuat mereka berkembang bukan malah terus-menerus membandingkan mereka dengan masanya, apalagi di situasi pandemi ini kondisi baru yang dialami. 

Mentalitas senior junior yang dikonstruk umumnya dengan cara membentak, bersuara lantang seakan-akan menjadi suara Tuhan yang wajib hukumnya dituruti. Menyuruh dengan seenaknya tanpa meminta tolong kemudian mengapresiasi atau mengucap terima kasih. Apa yang bisa dipetik dengan pola kaderisasi seperti itu?

Atau memberikan contoh di dalam forum kelembagaan biasanya di musyawarah berargumen dengan nada tinggi tapi tidak berisi. Seakan-akan hendak memperlihatkan kuasanya karena lebih dulu menjadi seorang mahasiswa. Mempermainkan forum sesuai kehendaknya salahpun bisa dibenarkan sesuka hati. Apakah seorang mahasiswa baru bisa menangkap pembahasan jika demikian?

Senantiasa menyuarakan untuk menghapuskan segala bentuk penindasan tetapi secara tidak langsung membudayakan praktik penindasan kepada juniornya. 

Hal yang lucu dan menggelitik apalagi seolah-olah mengajarkan untuk beretika dalam forum tetapi memberikan contoh yang sebaliknya. 

Hendak dihargai dan diagung-agungkan tapi bermental pesuruh. Alibinya ketika tidak diperlakukan demikian maka mahasiswa baru tadi akan tidak beretika. Lantas bagaimana jika sudah demikian?

Kaderisasi seharusnya menciptakan kader yang punya jiwa pemimpin, memiliki emosi yang terkontrol, kreatif dan mampu menjadi pemberi solusi untuk setiap permasalahan yang ada, harus punya mental yang kuat dan yang terpenting dapat menjadi teladan bagi anggotanya. Menggunakan pendekatan yang memanusiakan manusia agar tidak terjadi dehumanisasi yang berimbas hilangnya sikap humanis yang berkeadilan.

Ke semua proses dalam kaderisasi organisasi merupakan rangkaian yang sistematis melibatkan segala elemen yang ada di dalamnya untuk mampu bersinergi. 

Seperti yang diutarakan Soewarno Handayaningrat (1981: 2) dalam bukunya berjudul Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, bahwa proses adalah sesuatu tuntutan perubahan dari suatu peristiwa perkembangan sesuatu yang dilakukan secara terus menerus. 

Olehnya, dalam setiap proses di dalam kaderisasi pencapaian utamanya adalah perubahan yang mengarah pada perkembangan kader. Dan pola yang dilakukan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan yang ada tanpa menghilangkan substansi dari kaderisasi itu.

Ketika mahasiswa baru tidak melewati segala proses semestinya, maka akan terjebak menjadi pemikir medioker atau yang hanya ikut-ikutan apa yang dikatakan seniornya tanpa mencerna baik-baik apakah itu baik atau buruk dan benar atau salah dan menjadi kader yang prematur. 

Organisasi harus tetap terus melahirkan kader yang baru sebagai bentuk regenerasinya tapi juga harus mampu melahirkan kader yang berkualitas walau di tengah kondisi pandemi ini. 

Tetapi ketika diperhadapkan pada budaya yang kolot seperti sudah dipaparkan tadi barangkali sudah tidak relevan lagi penerapannya. Perlu ada gerakan pembaruan dalam ranah kaderisasi organisasi. Untuk bergerak maju harus menanggalkan egosentrisme dan senioritas yang kolot tersebut.

Nb: Tulisan ini bisa dikatakan sekuel dari tulisan sebelumnya "Urgensi Kaderisasi di Tengah Pandemi" 

"Kamu boleh saja jadi senior, lebih dahulu menikmati dunia kampus. Tapi, persoalan pola pikir tidak ada lagi istilah senior-junior, yang diperhitungkan seberapa banyak buku yang dibaca dan seberapa sering kamu berdiskusi."
-Syahrul Gunawan-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun