Semestinya ada penyesuaian dengan kondisi, sehingga tidak menciptakan kader yang prematur dalam berorganisasi. Ketidakmampuan terlepas dari kungkungan senioritas salah satu faktor penyebabnya. Ketika sudah seperti itu, yang menjadi korban ialah kader sebagai objek kaderisasi akibat dari doktrin senioritas tadi.
Mahasiswa baru yang notabene tidak tahu-menahu seputar kehidupan kampus seperti apa perlu bimbingan dari senior yang sudah lama berkecimpung di dunia kampus dengan memberikan pengajaran yang membuat mereka berkembang bukan malah terus-menerus membandingkan mereka dengan masanya, apalagi di situasi pandemi ini kondisi baru yang dialami.
Mentalitas senior junior yang dikonstruk umumnya dengan cara membentak, bersuara lantang seakan-akan menjadi suara Tuhan yang wajib hukumnya dituruti. Menyuruh dengan seenaknya tanpa meminta tolong kemudian mengapresiasi atau mengucap terima kasih. Apa yang bisa dipetik dengan pola kaderisasi seperti itu?
Atau memberikan contoh di dalam forum kelembagaan biasanya di musyawarah berargumen dengan nada tinggi tapi tidak berisi. Seakan-akan hendak memperlihatkan kuasanya karena lebih dulu menjadi seorang mahasiswa. Mempermainkan forum sesuai kehendaknya salahpun bisa dibenarkan sesuka hati. Apakah seorang mahasiswa baru bisa menangkap pembahasan jika demikian?
Senantiasa menyuarakan untuk menghapuskan segala bentuk penindasan tetapi secara tidak langsung membudayakan praktik penindasan kepada juniornya.
Hal yang lucu dan menggelitik apalagi seolah-olah mengajarkan untuk beretika dalam forum tetapi memberikan contoh yang sebaliknya.
Hendak dihargai dan diagung-agungkan tapi bermental pesuruh. Alibinya ketika tidak diperlakukan demikian maka mahasiswa baru tadi akan tidak beretika. Lantas bagaimana jika sudah demikian?
Kaderisasi seharusnya menciptakan kader yang punya jiwa pemimpin, memiliki emosi yang terkontrol, kreatif dan mampu menjadi pemberi solusi untuk setiap permasalahan yang ada, harus punya mental yang kuat dan yang terpenting dapat menjadi teladan bagi anggotanya. Menggunakan pendekatan yang memanusiakan manusia agar tidak terjadi dehumanisasi yang berimbas hilangnya sikap humanis yang berkeadilan.
Ke semua proses dalam kaderisasi organisasi merupakan rangkaian yang sistematis melibatkan segala elemen yang ada di dalamnya untuk mampu bersinergi.
Seperti yang diutarakan Soewarno Handayaningrat (1981: 2) dalam bukunya berjudul Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, bahwa proses adalah sesuatu tuntutan perubahan dari suatu peristiwa perkembangan sesuatu yang dilakukan secara terus menerus.
Olehnya, dalam setiap proses di dalam kaderisasi pencapaian utamanya adalah perubahan yang mengarah pada perkembangan kader. Dan pola yang dilakukan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan yang ada tanpa menghilangkan substansi dari kaderisasi itu.