Mohon tunggu...
Basir SH
Basir SH Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Pasca UNMA BANTEN

Saya adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Perguruan Tinggi Universtitas Matlaul Anwar Banten

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Perkara Perdata dan Perkara Pidana Dalam Proses yang Bersamaan

31 Mei 2024   23:55 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:10 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Seperti halnya yang terjadi pada contoh kasus Riki Irawan yang didakwa melakukan pencurian pipa besi yang diakui milik dari Pertamina Prabumulih. Pada akhirnya Riki divonis bersalah dengan putusan PN Kayuagung Nomor 159/Pid.B/2015/PN Kag. Sedangkan disaat bersamaan H. Ahmad mengajukan gugatan kepada Pertamina Prabumulih dengan nomor gugatan Nomor 3/Pdt.G/2015/PNBM bahwa kepemilikan pipa besi tersebut bukanlah milik Pertamina Prabumulih tetapi milih H. Ahmad dan Riki Irawan.

Gugatan yang diajukan oleh H. Ahmad tersebut berhasil dimenangkannya. Hal tersebut menjadi pertanyaan keadilan putusan hakim dimana suatu kepemilikan benda masih disengketakan akan tetapi Riki sudah divonis bersalah melakukan pencurian. Dalam pertimbangannya Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung menyatakan bahwa Hakim tidak terikat dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956) sehingga Riki divonis 1 tahun penjara.

 

Lebih lanjut Perma No.1/1956 menyebutkan antara lain dalam Pasal 1 dan Pasal 3 bahwa:

 

  • Pasal 1: Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.
  • Pasal 3: Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi.

Dengan adanya Perma No.1/1956 memunculkan adanya konsekuensi hukum yang bisa memberi kewenangan pada Hakim untuk menunda persidangan pidana ataupun tidak. Tentunya suatu persoalan yang diajukan bersamaan secara perdata dan pidana, lebih baik untuk menunda perkara pidana dan menunggu putusnya perkara perdata, sehingga dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat. Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan Hakim untuk melanjutkan proses persidangan pidana walaupun adanya sengketa perdata secara bersamaan kasus yang sama.

Selain itu, ada beberapa ketentuan maupun situasional yang dapat mengakibatkan perkara pidana yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie atau biasa disebut Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia menyebutkan :

 Pasal 29 : "Selama dalam proses penuntutan pidana, ditundalah tuntutan perdata mengenai ganti-rugi yang sedang ditangani oleh hakim perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh Undang-Undang"

Pasal 30: "Tuntutan pidana tidak dapat dihentikan atau ditunda dengan mengingat adanya gugatan perdata, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang."

Apabila didasari oleh hal tersebut, tentunya perkara pidana yang seharusnya lebih didahulukan daripada perkara perdata. Karena ganti rugi tidak dapat dimintakan jika perbuatan melawan hukum pidana belum terbukti. Karena ganti rugi dalam konteks ini berkaitan dengan kerugian akibat perbuatan pidana yang dilakukan.

Perma No.1/1956 sudah jelas mengatur bahwa perkara pidana yang perlu adanya putusan perdata akan suatu kepemilikan ataupun hubungan hukum antar pihak dapat dilakukan penundaan akan persidangan pidananya. Akan tetapi, Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan pada hakim untuk menilai perlu adanya penundaan atau tidak. Sehingga jelas, mengenai perkara perdata atau pidana yang harus diputus terlebih dahulu menjadi kewenangan Hakim untuk sepenuhnya menilai hal tersebut. Namun setidaknya, benang merah dari keduanya adalah relasi, apakah kerugian perdata yang timbul akibat perbuatan pidana. Atau, perbuatan pidana baru dapat dibuktikan jika tidak ada sengketa keperdataan soal kepemilikan suatu benda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun