Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tomang: Sebuah Asa dalam Pembakaran (Sebuah Catatan: 2)

1 Juli 2022   09:30 Diperbarui: 5 Juli 2022   10:00 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang Hal Sepele dan Tak Terfikir, Benar-Benar Merubah Dunia - Cak Bash

Aku yang Belum Paham

Tomang. Begitulah orang Madura menyebutnya. Tungku kayu untuk memasak itu dulu selalu kutemui di setiap dapur tetanggaku, bahkan juga di dapur nenek dan ibuku sendiri.

Setiap hari setidaknya pagi dan sore dia hidup dan digunakan, bahkan bisa lebih jika si pemilik sedang punya hajatan. Ketika Tomang digunakan, tak hanya berfungsi memasak, dia seolah memiliki sihir pemikat karena kami selalu berkumpul dan bercengkrama di dapur sembari menemani ibu dan menunggu masakan matang dan siap kami santap.

Tomang seringkali membuat mata kami perih karena asap yang mengepul sebab api tak kunjung hidup atau kayunya masih belum terlalu kering, bahkan tak jarang muka ibuku tak karuan karena hitam pekat terkena sisa arang kemarin atau kemarin lusa. Tapi kami selalu tersenyum bahkan saling menertawai satu sama lain. Tak jarang pula keberadaannya memberi kami berkah kecil-kecilan sebab selalu ada cara untuk mencari tambahan uang jajan karena kegunaan tomang. 

Aku dan teman-teman sebayaku sepulang sekolah sering mencari kayu ranting yang banyak berserakan di pekarangan selatan rumah kami.

Kayu yang kami kumpulkan dapat dijual pada tetanggaku, dengan harga yang lumayan untuk tambahan uang jajan atau untuk beli kelereng. Tak jarang perburuan kami atas kayu ranting, juga memperoleh jamur liar yang tumbuh begitu banyak sebab semalam hujan tak begitu lebat dan tentu mereka luput dari pandangan bulek yang memang sering mencari jamur di pagi hari.

Kami dulu begitu kreatif untuk mencari tambahan uang jajan. Tak perlu kami memelas apalagi sampai memaksa dengan tangisan untuk meminta tambahan uang jajan pada ibu, meski sebenarnya ibuku juga tak mungkin memberi lagi meski aku nangis sambil berguling-guling, sebab memang tak ada cerita dapat tambahan uang jajan. Terkadang kami mencari daun pisang untuk dijual, mengambil lidi kelapa dan dibuat menjadi sapu lidi, termasuk mencari kayu bakar di pekarangan-pekarangan yang memang oleh pemiliknya disuruh ambil.

Namun pada suatu siang sepulang sekolah ketika aku menjelang lulus sekolah dasar, ibuku bersama para ibu-ibu lain di kampungku berjalan mengular sembari membawa kardus diatas kepalanya. Senyum mereka melupakan peluh yang mengucur deras di dahi masing-masing.

Ketiak mereka basah karena panas yang memaksa peluh keluar dan dominan membasahi area ketiak saja, persis seperti rawa ditengah gurun. Aku dan teman-temanku lari berhamburan membantu ibu masing-masing untuk menggantikan bawaan mereka. Kami tak paham apa yang dibawa. Dengan hati saling penasaran, tak ada dari kami yang menanyakan apa bawaan itu, kami mengira itu jajan atau oleh-oleh makanan. 

Setiba di rumah, ibuku bercerita bahwa mereka diundang Pak Tinggi (sebutan kades ditempat kami), katanya mulai nanti ibuku dan tetangga-tetanggaku tak perlu lagi menggunakan tungku tomang sebab kurang praktis, kotor, dan tentu merusak lingkungan karena penebangan kayu akan terus dilakukan jika menggunakan tungku.

Untuk menggantikannya, Pak Tinggi memberi kami kompor miyak tanah lengkap dengan sumbunya. Hanya minyaknya saja yang tidak ada dan kami disuruh membelinya sendiri. 

Sejak saat itu, hampir seluruh rumah berganti kompor. Aku dan teman-teman tak satupun komentar dan mempermasalahkan hal itu meski sebenarnya kami telah kehilangan ceperan kami. Mungkin karena tidak bernilai puluhan ribu bahkan jutaan, kami tak protes, pun demikian dengan tetanggaku karena mereka memperoleh kompor secara gratis. Begitulah keadaan dan waktu terus berjalan.

Beberapa tahun kemudian, menjelang keberangkatanku kuliah, rumah begitu heboh dan ibuku begitu sibuk memasak di dapur karena akan ada slametan kecil-kecilan untuk doa bersama mensyukuri kelulusanku sekaligus berdoa kelancaran untuk keberangkatanku kuliah ke Yogyakarta.

Ketika itu aku tak berfikir apapun, terlebih kami sudah tidak terbiasa duduk menemani ibu memasak di dapur karena dapur kami tak lagi seluas dulu. Bapakku telah merenovasinya dan memberi jatah luas dapur secukupnya karena harus dibagi dengan kamar mandi.

Aku tak lagi dapat melihat onggokan kayu dan tungku lengkap dengan abunya karena ibu sudah lama tak menggunakannya. Bahkan kompor pemberian Pak Tinggi juga entah kemana sebab telah berganti dengan kompor gas dengan tabung melon. Tinggal klik api menyala dan lebih praktis lagi, meski terkadang sesekali bau gas menyengat keluar karena bocor, namun semua tertangani dengan baik oleh ibu atau bapakku.

Kembali aku tidak meresponsnya, seolah tidak ada apa-apa, bahkan semuanya menilai lebih enak, praktis dan efisien menggunakan tabung gas. Tapi aku kini melihatnya dari sisi yang berbeda.

Foto Koleksi Pribadi
Foto Koleksi Pribadi

Tidak Sekadar Kehilangan Tomang: Budaya Ketahanan Pangan?

Secara tradisional, masyarakat di kampung saya berprofesi sebagai petani yang menggarap lahannya sendiri. Mereka menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, jagung, dan sayur mayur. Sekali dalam setahun terkadang ditanami tembakau. 

Ketika panen datang, penduduk menyimpan hasil panennya di lumbung penyimpanan berbentuk para-para yang dibuat persis diatas Tomang (tungku kayu) dan sebagian dijual. Biasanya mereka telah memiliki perhitungan matang dan tepat atas simpanan bahan pangan yang dirasa dapat cukup sampai musim panen berikutnya tiba. 

Saya yakin, meski tidak pernah belajar secara teori di bangku pendidikan, mereka paham jika menyimpan gabah, jagung, atau bahan pangan agar tahan lama tempatnya adalah di atas para-para, karena setiap hari terkena asap pembakaran Tomang--sebuah cara pengawetan alami yang tak perlu pelajaran khusus (meski anak-anak jaman sekarang tidak paham akan hal itu).

Tempat penyimpanan itu juga dapat melindungi bahan pangan mereka dalam waktu yang lama dari ancaman tikus rumahan yang sering mencuri bahan makanan kami di dapur.

Kehidupan kami di kampung dahulu begitu sederhana, namun tentram bersahaja karena alam telah menyediakan semuanya. Seringkali saya kangen juga dengan suasana itu.

Namun semua itu berubah, terutama saat ini ketika saya benar-benar mengamatinya dengan serius. Ketika kami tidak menggunakan tomang lagi, fungsi para-para sebagai lumbung penyimpanan bahan pangan pun kehilangan fungsinya, bahkan hampir tidak dapat ditemukan lagi tomang dan para-para di setiap dapur di kampungku.

Awalnya tak terfikirkan perubahan itu, sampai kemudian saya sering mendengar keluhan dari sanak saudara dan para tetangga tentang pertanian mereka yang lebih banyak merugi.

Tak jarang mereka mengeluh dan kangen dengan keadaan masa lalu. Saya lantas menelusurinya dengan sungguh-sungguh apa yang terjadi.

Saat ini, petani di kampung saya--sepertinya juga terjadi di banyak daerah--lebih memilih langsung menjual hasil panen mereka dan tidak menyimpannya sebagian dan uangnya digunakan untuk membeli bahan pokok. Tak heran, muncul banyak pedagang dan pengepul bahan pertanian, termasuk padi.

Saya melihat paradoks dalam proses itu sebab tak sedikit yang mengeluh rugi dengan pola itu, tak sedikit pula yang terjerat hutang karena modal bertani dan keuntungan yang tidak koheren.

Namun seolah tak ada pilihan, petani di kampung saya tetap mengelola lahannya, meski hanya tinggal sedikit sebab sebagian besar lahannya telah tergadai.

Meski rugi, petani tetap menggarap lahannya dan alternatifnya adalah meminjam modal dan tentu pinjaman yang menjadi pilihan adalah pinjaman yang cepat, tidak ribet, tidak berbelit, meski bunganya besar. 

Begitulah hemat saya proses rente (rentenir) bermunculan di desa kami. Tak jarang, karena merugi terus dan pinjam terus, hutang tak mampu terbayar apalagi dengan bunga yang besar, lahan sawah mereka akhirnya tergadai sehingga peluang itupun terbaca oleh mereka yang "berduit" dengan jaminan lahan sehingga mereka tak lagi dapat menggarap lahan.

Tak jarang pula mereka memilih menjadi buruh di luar kota dan bahkan tak sedikit juga yang berangkat keluar negeri untuk bekerja sebab sudah tidak ada lahan untuk digarap. Inilah mungkin salah satu alasan kenapa kampung saya begitu sepi ketika saya pulang diluar waktu lebaran. Teman-teman sebaya ketika kecil tak dapat dijumpai lagi kecuali ketika lebaran saja sebab mereka berada diperantauan.

Melihat kondisi itu, saya menyimpulkan dengan sederhana bahwa telah terjadi perubahan cara berfikir dan perilaku para petani kami di kampung.

Berawal dari bertani untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka, kebutuhan makan dalam satu waktu sampai panen tiba, beralih menjadi petani produksi yang hasilnya masuk ke lumbung-lumbung perusahaan melalui tangan-tangan pengepul dan tengkulak yang tidak berkompromi dengan stabilitas harga.

Namun pasti mereka tidak akan mampu karena terbatasnya lahan yang digarap (pertanian produksi menurut saya lahan tentu harus skala besar), mahalnya modal, belum lagi mereka tidak mampu berdaulat atas harga jual dan seringkali tidak sesuai antara modal dan hasilnya. 

Hilangnya Tomang hemat saya mematikan fungsi Para-Para sebagai lumbung karena telah terganti dengan Gas dan tabung Melon yang lebih efisien dan ternyata dalam jangka panjang berdampak pada berubahnya orientasi bertani penduduk kampungku.

Entahlah. Apakah ada alternatif untuk mengubah keadaan itu, saya hanya bisa berandai-andai dalam imajinasi liarku saja semisal adanya aturan pemerintah untuk melarang menggadai sawah atau sawah yang digadai harus digarap oleh pemilik dan bagi hasil dengan penggadai sehingga mereka masih dapat mengharapkan penghasilan dari lahan mereka sendiri, membiasakan diri dengan menjadi produsen minimal bagi diri sendiri dan tetangga sehingga membeli bahan pangan ke tetangga lebih penting, atau imajinasi-imajinasi liar lainnya yang ingin diupayakan. Tapi saya tidak tau bagaimana memulai perubahan itu. 

Tomang yang dulu begitu asik telah diganti menjadi tomang yang merusak, mencemari dan kurang ramah lingkungan. Ketika hilang, ternyata kita kehilangan sesuatu yang lebih besar, kehilangan yang merubah orientasi ketahanan pangan kita.

Seringkali kita baru menyadari diakhir bahwa kehilangan hal sepele ternyata berdampak besar.

Semoga. 

Note: jika ingin berdiskusi, berkorespondensi dengan penulis seputar topik di atas, bisa melalui laman komentar atau juga melalui irbashmail@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun