Namun pasti mereka tidak akan mampu karena terbatasnya lahan yang digarap (pertanian produksi menurut saya lahan tentu harus skala besar), mahalnya modal, belum lagi mereka tidak mampu berdaulat atas harga jual dan seringkali tidak sesuai antara modal dan hasilnya.Â
Hilangnya Tomang hemat saya mematikan fungsi Para-Para sebagai lumbung karena telah terganti dengan Gas dan tabung Melon yang lebih efisien dan ternyata dalam jangka panjang berdampak pada berubahnya orientasi bertani penduduk kampungku.
Entahlah. Apakah ada alternatif untuk mengubah keadaan itu, saya hanya bisa berandai-andai dalam imajinasi liarku saja semisal adanya aturan pemerintah untuk melarang menggadai sawah atau sawah yang digadai harus digarap oleh pemilik dan bagi hasil dengan penggadai sehingga mereka masih dapat mengharapkan penghasilan dari lahan mereka sendiri, membiasakan diri dengan menjadi produsen minimal bagi diri sendiri dan tetangga sehingga membeli bahan pangan ke tetangga lebih penting, atau imajinasi-imajinasi liar lainnya yang ingin diupayakan. Tapi saya tidak tau bagaimana memulai perubahan itu.Â
Tomang yang dulu begitu asik telah diganti menjadi tomang yang merusak, mencemari dan kurang ramah lingkungan. Ketika hilang, ternyata kita kehilangan sesuatu yang lebih besar, kehilangan yang merubah orientasi ketahanan pangan kita.
Seringkali kita baru menyadari diakhir bahwa kehilangan hal sepele ternyata berdampak besar.
Semoga.Â
Note: jika ingin berdiskusi, berkorespondensi dengan penulis seputar topik di atas, bisa melalui laman komentar atau juga melalui irbashmail@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H