Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tomang: Sebuah Asa dalam Pembakaran (Sebuah Catatan: 2)

1 Juli 2022   09:30 Diperbarui: 5 Juli 2022   10:00 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun semua itu berubah, terutama saat ini ketika saya benar-benar mengamatinya dengan serius. Ketika kami tidak menggunakan tomang lagi, fungsi para-para sebagai lumbung penyimpanan bahan pangan pun kehilangan fungsinya, bahkan hampir tidak dapat ditemukan lagi tomang dan para-para di setiap dapur di kampungku.

Awalnya tak terfikirkan perubahan itu, sampai kemudian saya sering mendengar keluhan dari sanak saudara dan para tetangga tentang pertanian mereka yang lebih banyak merugi.

Tak jarang mereka mengeluh dan kangen dengan keadaan masa lalu. Saya lantas menelusurinya dengan sungguh-sungguh apa yang terjadi.

Saat ini, petani di kampung saya--sepertinya juga terjadi di banyak daerah--lebih memilih langsung menjual hasil panen mereka dan tidak menyimpannya sebagian dan uangnya digunakan untuk membeli bahan pokok. Tak heran, muncul banyak pedagang dan pengepul bahan pertanian, termasuk padi.

Saya melihat paradoks dalam proses itu sebab tak sedikit yang mengeluh rugi dengan pola itu, tak sedikit pula yang terjerat hutang karena modal bertani dan keuntungan yang tidak koheren.

Namun seolah tak ada pilihan, petani di kampung saya tetap mengelola lahannya, meski hanya tinggal sedikit sebab sebagian besar lahannya telah tergadai.

Meski rugi, petani tetap menggarap lahannya dan alternatifnya adalah meminjam modal dan tentu pinjaman yang menjadi pilihan adalah pinjaman yang cepat, tidak ribet, tidak berbelit, meski bunganya besar. 

Begitulah hemat saya proses rente (rentenir) bermunculan di desa kami. Tak jarang, karena merugi terus dan pinjam terus, hutang tak mampu terbayar apalagi dengan bunga yang besar, lahan sawah mereka akhirnya tergadai sehingga peluang itupun terbaca oleh mereka yang "berduit" dengan jaminan lahan sehingga mereka tak lagi dapat menggarap lahan.

Tak jarang pula mereka memilih menjadi buruh di luar kota dan bahkan tak sedikit juga yang berangkat keluar negeri untuk bekerja sebab sudah tidak ada lahan untuk digarap. Inilah mungkin salah satu alasan kenapa kampung saya begitu sepi ketika saya pulang diluar waktu lebaran. Teman-teman sebaya ketika kecil tak dapat dijumpai lagi kecuali ketika lebaran saja sebab mereka berada diperantauan.

Melihat kondisi itu, saya menyimpulkan dengan sederhana bahwa telah terjadi perubahan cara berfikir dan perilaku para petani kami di kampung.

Berawal dari bertani untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka, kebutuhan makan dalam satu waktu sampai panen tiba, beralih menjadi petani produksi yang hasilnya masuk ke lumbung-lumbung perusahaan melalui tangan-tangan pengepul dan tengkulak yang tidak berkompromi dengan stabilitas harga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun