Sejak saat itu, hampir seluruh rumah berganti kompor. Aku dan teman-teman tak satupun komentar dan mempermasalahkan hal itu meski sebenarnya kami telah kehilangan ceperan kami. Mungkin karena tidak bernilai puluhan ribu bahkan jutaan, kami tak protes, pun demikian dengan tetanggaku karena mereka memperoleh kompor secara gratis. Begitulah keadaan dan waktu terus berjalan.
Beberapa tahun kemudian, menjelang keberangkatanku kuliah, rumah begitu heboh dan ibuku begitu sibuk memasak di dapur karena akan ada slametan kecil-kecilan untuk doa bersama mensyukuri kelulusanku sekaligus berdoa kelancaran untuk keberangkatanku kuliah ke Yogyakarta.
Ketika itu aku tak berfikir apapun, terlebih kami sudah tidak terbiasa duduk menemani ibu memasak di dapur karena dapur kami tak lagi seluas dulu. Bapakku telah merenovasinya dan memberi jatah luas dapur secukupnya karena harus dibagi dengan kamar mandi.
Aku tak lagi dapat melihat onggokan kayu dan tungku lengkap dengan abunya karena ibu sudah lama tak menggunakannya. Bahkan kompor pemberian Pak Tinggi juga entah kemana sebab telah berganti dengan kompor gas dengan tabung melon. Tinggal klik api menyala dan lebih praktis lagi, meski terkadang sesekali bau gas menyengat keluar karena bocor, namun semua tertangani dengan baik oleh ibu atau bapakku.
Kembali aku tidak meresponsnya, seolah tidak ada apa-apa, bahkan semuanya menilai lebih enak, praktis dan efisien menggunakan tabung gas. Tapi aku kini melihatnya dari sisi yang berbeda.
Tidak Sekadar Kehilangan Tomang: Budaya Ketahanan Pangan?
Secara tradisional, masyarakat di kampung saya berprofesi sebagai petani yang menggarap lahannya sendiri. Mereka menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, jagung, dan sayur mayur. Sekali dalam setahun terkadang ditanami tembakau.Â
Ketika panen datang, penduduk menyimpan hasil panennya di lumbung penyimpanan berbentuk para-para yang dibuat persis diatas Tomang (tungku kayu) dan sebagian dijual. Biasanya mereka telah memiliki perhitungan matang dan tepat atas simpanan bahan pangan yang dirasa dapat cukup sampai musim panen berikutnya tiba.Â
Saya yakin, meski tidak pernah belajar secara teori di bangku pendidikan, mereka paham jika menyimpan gabah, jagung, atau bahan pangan agar tahan lama tempatnya adalah di atas para-para, karena setiap hari terkena asap pembakaran Tomang--sebuah cara pengawetan alami yang tak perlu pelajaran khusus (meski anak-anak jaman sekarang tidak paham akan hal itu).
Tempat penyimpanan itu juga dapat melindungi bahan pangan mereka dalam waktu yang lama dari ancaman tikus rumahan yang sering mencuri bahan makanan kami di dapur.
Kehidupan kami di kampung dahulu begitu sederhana, namun tentram bersahaja karena alam telah menyediakan semuanya. Seringkali saya kangen juga dengan suasana itu.