MENENGOK SEKELUMIT KISAH KEBIJAKAN IMPOR BERAS
Sebelum saya membahas kebijakan impor beras yang viral tersebut, didalam hati saya tertawa sinis sekaligus heran terlebih ketika saya mencoba membuka Data Sistem Informasi Desa dalam website Kementerian Desa saat ini. Saya tidak tahan untuk membuka data tentang kondisi desa saya dan desa di kabupaten Jember secara lebih luas. Dalam SID tersebut, saya membuka folder desa demi desa di Kabupaten Jember dan saya menemukan data bahwa kebanyakan dan bahkan menurut saya mayoritas desa di kabupaten saya memiliki produk unggulan berupa Padi. Hal tersebut sangat wajar sekali sebab Kabupaten Jember memang memiliki persawahan yang luas sekali, bahkan selaras dengan data BPS Provinsi Jawa Timur yang menyebutkan bahwa Kabupaten Jember memiliki luasan lahan sawah sebesar 86144 Hektar, peringkat kedua terluas di Provinsi Jawa Timur setelah Kabupaten Lamongan dengan luasan lahan sawah sebesar 87833 Hektar. Maka kemanakah beras yang dihasilkan selama ini??
Saya menemukan informasi yang dirilis oleh DetikFinance yang dirilis pada Sabtu 27 Maret 2021. Berita tersebut menginformasikan bahwa Presiden Joko Widodo merespon dan mencoba meredam pernyataan dan perdebatan terkait impor satu juta ton beras dengan menyatakan bahwa Indonesia tidak akan melakukan impor sampai Juni 2021, namun pernyataan tersebut disertai dengan pernyataan bahwa Indonesia sudah hampir 3 tahun tidak impor beras. Menurut data BPS, Indonesia dalam rentang waktu tahun 2000 -- 2019 tidak pernah absen impor beras, dan pada tahun 2018, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 2.253.824,5 ton beras dengan rincian keuangan yang setara dengan 1.03 miliar dollar. Indonesia mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, China, India, Pakistan, Myanmar, dan beberapa negara lainnya. Saya dalam uraian ini Kembali menyatakan bahwa tulisan ini tidak dalam rangka pro atau kontra terhadap kebijakan apapun yang dikeluarkan pemerintah terkait beras ini, namun saya hanya bertanya "Kemana beras kita?" "Ditanami apa lahan dan sawah kita selama ini?" maka saya bertanya pada diri sendiri "kenapa dua pertanyaan tersebut tidak menjadi viral dan bahkan tidak ada respon dari berbagai kalangan sehingga semua orang di desa-desa mengetahuinya. Maka dari inilah saya mengajak pembaca untuk ikut membayangkannya.
TOLEHLAH PETANI: BERTANI UNTUK MAKAN ATAU BERTANI UNTUK JUAL GABAH?
Dari uraian saya diatas, maka saya ingin sekali menutup catatan saya ini dengan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yakni "Bisakah negara dan kita semua merubah orientasi petani dari Bertani Untuk Jual Gabah menjadi Bertani Untuk Dimakan Kembali? Jika kita semua, negara dan pemerintah, serta siapun juga dapat menjawabnya, maka bukan suatu hal yang mustahil merubah kata "impor" menjadi "ekspor" terhadap beras kita. Oleh karena itu, penting kiranya bagi kita semua, bagi pemerintah dan negara atau siapun untuk Kembali menolehkan kepala kita kepada petani dan membisikinya dengan kata "Yuk Kita Makan dan Simpan Beras dari Padi yang Kita Tanam dilahan kita Sendiri". Maka mendampingi dan bersama petani untuk mengajari Kembali memperlakukan padi dan tanah dengan sebaik-baiknya, maka mengingatkan petani agar menanam padi untuk dimakan sendiri sekeluarga perlu segera diviralkan kembali. Kita semua juga perlu memviralkan, membisiki, membantu dan mengajari pemerintah untuk membuat prinsip "Kita Panggil Negara Lain Untuk Membeli Beras Kita, Bukan Untuk Menjual Beras Pada Kita". Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H