Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ke Mana Beras Kita? Catatan Pagi Ini #3

28 Maret 2021   01:12 Diperbarui: 28 Maret 2021   01:29 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anda memberi saya nasi, saya akan makan hari ini. Jika anda mengajari saya cara menanam padi, saya akan makan setiap hari

Mahatma Gandhi

Beberapa minggu terakhir, wacana impor beras satu juta ton sempat viral di media sosial. Seolah kini menjadi tradisi, terjadi perang wacana atas isu tersebut, Sebagian menyatakan pro dan tentu Sebagian lagi menyatakan kontra atas kebijakan tersebut. Catatan tulisan ini saya buat tidak dalam rangka menjadi salah satu dari kedua pihak diatas. Saya tidak ingin mengajak pembaca untuk memilih berkata "kita seharusnya tidak impor beras" atau memilih berkata "memang kita butuh impor beras". Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk mencoba berimajinasi dan berfikir tentang beras di hulu.

Saya lahir di Dusun Tegal Gusi, sebuah dusun yang letaknya berada di tengah pulau sawah di Desa Mayang Kabupaten Jember Jawa Timur -- saya mencoba cek di Google map, ternyata sesuai dengan visualisasi langsung saya di lapangan yakni dusun ditengah hamparan sawah yang luas. Sejak saya lahir sampai hari ini -- sekira 35 tahunan yang lalu, saya sudah hafal dan selalu berdampingan dengan bau jerami yang dibakar petani Ketika selesai panen. Aroma khas sawah pasca selesai panen, berlari dipematang sawah mencari telur bebek yang telat nelur dan akhirnya bertelur ditengah sawah merupakan memori manis saya yang tidak dapat saya lupakan sampai saat ini, atau ketika kecil dulu, kami pasti berburu ular air dan belut di tengah sawah untuk kami jadikan mainan disaat-saat musim tanam padi tiba. Semua itu masih tersimpan sangat rapi dalam memori kehidupan saya, yang saat ini bahkan sudah sulit saya temukan. Saya adalah anak yang lahir diantara aroma gabah dan asapnya. Ketika saya mencoba mengembalikan kenangan tersebut dan mengkontekstualisasikan dengan kondisi kini, kesimpulan saya sementara adalah "Tidak Mungkin Kita Kekurangan Beras dan harus beli ke negara tetangga".

KESADARAN EKOLOGIS

Refleksi ini saya ingin memulainya dengan mencoba mengingat apa yang dahulu saya alami dalam sebuah pertanyaan "Kenapa kakek saya selalu mengajak saya bermain di sawah setelah subuh dan sore hari?" Ketika saya kecil, hampir setiap hari saya wajib menemani kakek ke sawah untuk sekedar melihat air yang mengalir ke sawah kami, membantu mencabut rumput diantara tanaman padi, mengangkut kotoran hewan ke tengah sawah, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang terkait dengan persawahan. Saya saat ini menyadari betul bahwa apa yang dilakukan itu merupakan pelajaran berharga yang diajarkan orang tua tanpa kita sadar sebenarnya. Karena dilakukan setiap hari, saya pun akhirnya paham kapan padi butuh diairi, kapan waktu yang tepat untuk menanam hanya melalui merasakan aroma angin, jenis binatang yang merusak tanaman dan membantu tanaman, bagaimana cara menyemai tanaman, serta hal-hal lain terkait persoalan pertanian. Pun demikian, orang tua saya benar-benar protektif dengan pelajaran SD saya dulu yang terkait dengan hal ihwal tanaman, rantai makanan, dan hal lain. Namun sayangnya, bentuk perlakuaan yang seperti itu semua hampir sepenuhnya sudah tidak saya temukan saat ini. Sebuah sistem Pendidikan kehidupan dan alam yang dipastikan wajib dipelajari kami dulu diluar bangku sekolah saat ini sudah tidak ditemukan lagi. Saya menemukan sebuah kata dari refleksi ini sebagai "pendidikan ekologis dan kesadaran ekologis".

Saya mencoba mencari informasi terkait kata tersebut sehingga menemukan sebuah definisi bahwa kesadaran ekologis merupakan sebuah kesadaran tentang pentingnya sinergitas antara kehidupan manusia dengan lingkungan hidupnya. Perilaku positif seseorang atas ekologi akan melahirkan sebuah perubahan positif dan signifikan dalam memperlakukan lingkungannya. Kesadaran ekologis akan melahirkan; Pertama, kepekaan dan kepedulian seseorang terhadap lingkungannya untuk selalu dijaga dengan sebaik-baiknya. Kedua, tanggungjawab untuk menjaga lingkungan sebagai sumber kehidupannya. Ketiga, bekerjasama dengan berbagai pihak untuk terus menjaga dan merawat lingkungan. Ajaran langsung kakek dan orang tua kami sebagaimana disebut diatas jika dipahami betul sebenarnya merupakan penanaman ideologi ekologisme kepada kami jika diteoritisasikan..

Namun semua itu seolah sirna dan hampir tidak ditemukan lagi saat ini. Refleksi ini begitu kompleks ketika saya bertanya pada diri sendiri "Kenapa kesadaran ekologis petani kita saat ini benar-benar sulit diterapkan?". Saya mencoba menelusuri pertanyaan itu dan bertanya pada beberapa petani di kampung saya dengan pertanyaan "Pak Lik, Sampeyan Menanam Padi Untuk Apa?" Mereka mayoritas menjawabnya "Ya Untuk Dijual". Jawaban mereka memaksa saya membuat kesimpulan awal bahwa telah terjadi pergeseran orientasi cara berfikir dan cara bertindak para petani saat ini. Dahulu mereka Bertani untuk menghasilkan beras yang nantinya bisa mereka makan sendiri sampai panen berikutnya tiba dan sebagian kecil untuk kebutuhan sehari-hari. Kini mereka Bertani untuk menghasilkan beras agar bisa dijual dan menghasilkan uang. Kesimpulan ini memaksa saya untuk berkata bahwa orientasi petani kita telah berubah "Dari Pertanian Konsumtif menjadi Pertanian Produksi". Sebuah asumsi yang memberikan dampak konsekuensi pada berbagai hal semisal "Petani butuh teknologi agar mempercepat produksi", "Bio teknologi pertanian merupakan solusi bagi para petani" "perlu adanya pupuk yang bisa mempercepat produksi" dan pernyataan-pernyataan lainnya yang semuanya menjurus pada Pertanian Produksi. Namun apakah semua itu tepat? Mampukah petani kita mengimbanginya? Atau Jangan-Jangan petani kita telah terjebak dalam Kapitalisasi dan monopoli Gabah? Entahlah, namun perlu selalu kita pertanyakan hal itu. Satu hal yang pasti harus dilakukan hari ini adalah "Kita saat ini butuh mempelajari lagi prinsip dan idelogi ekologis".

PESTISIDA YANG ADIKTIF

Bergesernya orientasi Bertani petani hari ini dari Pertanian Konsumtif kepada Pertanian Produksi menuntut pertanian harus cepat. Maka inovasi-inovasi dibidang pertanian begitu banyak diproduksi dan dihasilkan salah satunya adalah penggunaan pestisida yang tidak terukur dan cenderung membuat petani ketagihan menggunakannya.

Saya dulu diajari menabur kotoran hewan ke sawah, namun kini tidak perlu lagi sebab terjawab dengan adanya pupuk urea, NPK, dan sejenisnya. Dulu sehari setelah padi di panen, saya selalu diajari menggenangi sawah dengan air, menyebar jerami agar busuk ditengah sawah, lalu setelah beberapa hari kemudian sawah di bajak dan ditanami Kembali. Saat ini hal itu tidak perlu dilakukan sebab pasca panen, agar cepat ditanami Kembali, rumput dan akar padi diseprot pakai obat pengering rumput, dan sejenisnya. Saat ini petani di dusun saya begitu ketagihan menggunakan pupuk-pupuk sejenis itu sebab proses lebih sederhana, singkat dan mempercepat proses penanaman lagi. Dalam tulisan ini Saya tidak akan menyimpulkan bahwa Pupuk berdampak negatif di kemudian hari, namun saya akan berkata bahwa Kami telah kecanduan dengan pupuk dan melupakan kebiasaan lama kami sebab sekali lagi orientasi Bertani kami telah berubah menjadi Pertanian Produksi yang membutuhkan cepat panen, segera jual dan langsung dapat uang. Sekali lagi kami telah kehilangan aspek ekologis kami.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun