Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gang Preman

12 Agustus 2017   10:20 Diperbarui: 12 Agustus 2017   10:27 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DINGIN menyelimuti sudut kota menyusup sweeter lelaki yang sejak sore hanya berdiri dipinggir jalan, tepat dimuka mulut sebuah gang. Sorot lampu kendaraan yang lalu lalang tidak dapat mengusik diamnya. Suara apapun, termasuk deru kendaraan dan klakson tidak bisa mengurangi kebisuannya. Bahkan ketika terdengar adzan Isya' dari musholla di seberang jalan, ia masih bertahan dengan sikapnya. Hanya sekali waktu bibirnya bergerak lembut menjawab adzan. Itupun hanya ia sendiri yang mendengarnya. " .......La Haula Wala Quwwata Illa Billah......"

Dari dalam gang itu, dua orang anak muda menuju ke arahnya. Keduanya sedang berbicara jorok yang sekali waktu dtimpali dengan suara cekikikan tawa. Tak jarang keduanya lebih seronok, menyangkut kemaluan perempuan.

"Aku suka sate, rawon, gule. Pokoknya daging mentah apapun saja aku suka. Berbagai macam dan ukuran. Malah aku sudah pernah makan bencong di alun-alun." Kata salah seorang dari mereka.

"Setan kamu. Tapi aku iblisnya. Aku sudah makan itu asal kau tahu. Si Susi, Luki, Siti, Rita dan ..... malah Mbok Minah pembantuku berkali-kali menjadi santapanku." Aku yang lain tanpa malu-malu.

Temannya tertawa terbahak-bahak, ia anggap setali tiga uang, klop lah. Begitu pula seterusnya mereka bicara seenak dengkulnya sendiri. Seolah-olah pembicaraan seperti tidak mengandung resiko, seakan dunia hanya milik mereka.

Gus Bas, lelaki yang hanya bertahan dengan kebisuannya itu menggigit bibir mendengar kepornoan kedua anak muda yang sudah di belakangnya. Rasa dingin yang mengusik di sekujur tubuhnya berganti panas. Darahnya mulai deras mengalir. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat tanpa diperintah, ingin dilayangkannya kerahang anak-anak nakal itu. Tapi ia masih bisa menahan emosinya, tidak mau bikin gara-gara. Ia hanya beristigfar, diselingi kutukan tanpa suara: "Kalau semua anak muda seperti mereka, maka hancurlah masa depan bangsa."

Gus Bas tiba-tiba mengeraskan istigfarnya. Tanpa diduga sebelumnya, kedua anak muda itu tahu-tahu menodongkan pisau kepadanya. Sebilah tepat di tenggorokan, sedangkan yang satu lagi persis di hulu hatinya. Ia pun mengira bahwa kutukannya terdengar oleh mereka.

"Apa sih mau kalian?!," bentak Gus Bas tak gentar.

"Serahkan dompet!," balas bentak salah seorang anak muda itu, "atau mati."

Gus Bas berusaha tenang. Ia berusaha mesem-mesem, geli benar mendengar permintaan mereka. Jangankan dompet, uangpun tidak ada. Hanya tinggal lima ribu repes buat ongkos pulang. Katanya sambil mesem: "Ayo ambil sendiri, kalau ada sikat saja."

Salah seorang menggeledah saku Gus Bas. Sedangkan yang lain membuka tas kresek hitam dan mengambil isinya: kaos kutang, katok kolor berikut sandal jepit tipis yang hampir berlobang. Lalu barang itu diserahkan kepada Gus Bas untuk ditukar dengan baju, Jeans dan sepatunya. Setengah membentak ia berujar: "Buka pakaianmu. Pakai ini. Habis kamu tak beruang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun