Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Dulla [Gila]

7 Agustus 2017   01:19 Diperbarui: 8 Agustus 2017   00:12 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://tatangmanguny.files.wordpress.com/2011/01/penjual-sayuran-18902-e1299402876246.jpg?w=660

Dulla seorang pedagang sayur. Hidupnya lebih banyak mengabdi kepada pekerjaannya. Sudah hampir dua puluh lima tahun ia menggeluti pekerjaan itu. Tak pernah mengeluh, apalagi putus asa. Meskipun badannya tidak setegak ketika masih muda, karena setiap hari ia harus memikul dagangannya, ia puas-puas saja dengan keadaanya. Ia benar-benar ulet, rutin dan sabar menghadapi kenyataan yang ia jalani.

Lelaki enam puluhan itu masih segar dan kuat setiap hari memikul beban dari rumahnya ke pasar sejauh dua kilometer. Ia tak pernah sakit. Kalau kepayahan, ia anggap biasa, cukup dengan minum jamu pakai telor ayam kampung, madu, jeruk pecel untuk memulihkan tenaganya. Tidur cukup, esok harinya segar kembali buat memikul sayur ke pasar. Suatu rutinitas yang kurang mendapat perhatian dari orang lain.

Tetapi pagi itu, Dulla berangkat ke pasar tidak seperti biasanya. Padahal selepas subuh, ia sudah berangkat. Kali ini setelah matahari naik, ia baru berangkat memikul barang-barangnya. Banyak orang di sepanjang jalan yang biasa ia lalui menanyakan kesiangannya, atau Dulla mengambil barang lagi karena sayurnya habis.

Dulla tak peduli apa kata orang. Ia memikul barang-barangnya tanpa menoleh ke kanan-kiri. Ia tergesa-gesa untuk sampai ke tujuannya. Ia tak ingin kesiangan.

Sesampainya di kota, lelaki itu berbelok menuju jalan jurusan alun-alun. Biasanya ia mengikuti jalan jurusan pasar induk dimana ia biasa menggelar sayurannya. Ada apa lelaki itu menuju ke alun-alun. Mau menjajakan sayurannya ke kator-kantor barangkali??

Dulla memperlambat langkahnya ketika melewati trotoar di depan sebuah bank. Tepat di pintu gerbangnya, ia berhenti sejenak untuk menyeka keringat, lalu mengipas-ngipas dadanya dengan kopiahnya. Gumamnya hampir tanpa suara: "Lho, ini to tempat setor naik haji?"

Tanpa buang-buang waktu, ia memikul bawaannya memasuki pintu gerbang itu. Tepat di pos penjaga, ia dicegat oleh seorang satpam. "Pak, pak, mau kemana?! Jangan jualan di sini. Dilarang!," tegur satpam itu sedikit kasar.

"Lho, sampeyan ini gimana? Saya tidak mau jualan. Mau setor haji," keluh Dulla semangat.

Satpam itu langsung tertawa mendengar Pak Pikul mau setor haji. "Sinting," ejeknya sambil menyilangkan telunjuk di keningnya. Ia pun segera mengusir Dulla keluar pagar.

Dulla menurut saja pada hardikan satpam itu. Meskipun ia mangkel atas perlakuan lelaki berseragam putih biru itu, ia pantang mengeluarkan sumpah serapah. Ia hanya dapat mengeluh: "Uh, kapan dan dimana orang baik yang bisa menolongku setor haji? Di kira sinting aku ini. Nasib!"

Dengan rasa kecewa berat, ia masuk bank lain yang tak seberapa jauh dari bank yang mengusirnya. "Oh, Gusti." Keluhnya. untuk kedua kalinya ia kecewa. Ternyata satpam di bank itu sama saja dengan di bank sebelumnya. Ia diperlakukan kasar. Juga di usir, keluhnya mengadu kepada diri sendiri: "Mengapa ya bank membeda-bedakan orang. Apa tak boleh orang macam aku datang ke bank? Padahal aku mau setor naik haji."

Dasar Dulla yang terbiasa menerima ejekan, baik di jalan maupun di pasar, karena keadaannya. Tapi ia tak putus asa.  Ia benar-benar ingin naik haji. Seperti Pak Haji Rajak, Haji Sadly, Haji Ali dan Haji Dulla nanti. Ia mencoba masuk bank lain yang tidak seberapa jauh dari bank-bank sebelumnya. Siapa tahu di bank ketiga masih ada orang baik yang mau menerimanya naik haji.

"Pak, saya....saya.... mau setor naik haji. Dimana ya, pak?" tanyanya ketika berada di pos satpam di balik pintu masuk bank ketiga, "Bisa bapak bantu saya?"

Satpam yang diajak bicara tertawa. Ia meganggap lucu pedagang yang datang dan belum menurunkan pikulan dari pundaknya. Mana bisa orang seperti itu mampu naik haji. Sinting kali, ejek satpam itu di dalam hati. Lalu petugas keamanan itu menuntun Dulla keluar pintu masuk dan menyuruhnya pergi.

Dulla menggigit bibir. Ia bingung mengapa semua orang tidak mempecayainya. Padahal ia mau bayar ongkos naik haji. Ia tidak main-main, apalagi dikatakan sinting. Uangnya banyak, malah lebih untuk ongkos naik haji. Apa karena keadaannya yang menyebabkan orang menilai rendah dan sinting lagi.

Dulla tidak putus asa. Ia mengambil tempat duduk di bawah pohon Akasia di tepi trotoar, sambil lalu menunggu-nunggu siapa tahu masih ada orang baik. Orang yang mau menolongnya mengantarkan ke tempat penyetoran ongkos naik haji. Sebab, kata si Wiji, anak tetangganya, tempat menyetor ongkos naik haji yang baik di bank sebelah utara. "Nah, itu kan banknya?" Pikir Dulla masih penuh harap.

Begitu besar harapannya untuk bisa menemukan orang yang bisa menolongnya, ia tidak segan-segan mendatangi seorang lelaki yang baru turun dari BMW. Kepada lelaki itu, ia menyampaikan maksudnya dengan sungguh-sungguh. Sebagai penguat pernyataannya, ia membuka kantong-kantong yang sedang dipikulnya. "Ini uangnya, Pak!" gumamnya penuh semangat.

Lelaki itu tertegun memperhatikan barang-barang yang ditunjukkan Dulla. Sebelumnya, Ia mengira Dulla hendak menawarkan barang dagangan. Begitu tahu yang ditunjukkan adalah uang, ia pun percaya. Orang tua ini benar-benar ingin menyetor ongkos naik haji. Ia harus dibantu sebelum ketahuan orang-orang jahat.

Maka sebagai pimpinan bank, ia punya prinsip "Pengunjung adalah Raja" sebagai mana prinsip dagang "Pembeli adalah Raja."Ia harus berpegang pada prinsip itu, tidak boleh membeda-bedakan nasabah. Seperti apapun keadaan nasabah, yang penting bukti riilnya, ada uang yang akan dipercayakan ke banknya,. Ia harus memberikan pelayanan terbaik. Termasuk kepada lelaki tua berbaju kumal, bersandal jepit tipis dengan timbul tubuh kerempeng. Siapa menyangka lelaki rendahan seperti itu bawa uang banyak dan hendak bayar ongkos naik haji. Sungguh kejadian yang menakjubkan.

"Mari bawa uang bapak langsung ke kantor saya," ajak lelaki itu sungguh-sungguh, "Saya akan mengurus keperluan bapak!."

"Terima kasih. Terima kasih." Sambut Dulla girang seraya memikul barang-barangnya. Ia tidak banyak ulah, langsung mengikuti lelaki baik hati itu ke ruang kerjanya.

Tentu saja kehadiran Dulla menarik perhatian semua orang. Baik petugas bagian resepsionis, kasir, pengunjung lain, satpam dan lain-lainnya hanya memperhatikan adegan diluar kebiasaan itu. Tapi mereka tidak terkutik, sebab pimpinan mereka yang membawa lelaki penjual sayur itu.

Sedang satpam yang sebelumnya telah mengusir lelaki tua itu hanya termangu-mangu. Ia merasa malu dan ketar-ketir bakal menerima sanksi dari pimpinan karena lelaki tua itu, ia takut lelaki tua itu akan melaporkan tindakan yang telah ia lakukan. Diam-diam ia menyesal perbuatannya sebab ia telah bertindak membeda-bedakan setiap pengunjung. Tapi ada apa pimpinan dengan lelaki tua itu?. Satpam itu duduk lemas di pos pejagaan dengan seribu tanda tanya.

Sementara di ruang pimpinan, Dulla benar-benar diperlakukan sebagai raja. Segala keperluannya langsung ditangani pimpinan. Bukan karena apa, pimpinan itu merasa terharu mendapat tamu orang kecil yang hendak menyetor ongkos haji. Uangnya dalam bentuk recehan logam sehingga harus dipikul.  Justru orang seperti itulah yang harus mendapat pelayanan ekstra, pikir pimpinan itu sambil tersenyum kepada Dulla.

Dulla menurut saja apa maunya lelaki yang baik hati itu. Ia mengkuti semua perintah yang diberikan padanya. Mulai cap jari formulir dan berbagai berkas yang diperlukan sampai pemotretannya. Ia pasrah kepada lelaki penolong itu. Bahkan ia menurut saja ketika orang itu meminta sopir bank mengantarkannya pulang. Bagi Dulla, ia sudah setor ongkos haji dengan selamat. Hal itu sudah lebih dari cukup, apalagi sampai diantar pulang segala.

Di kampung, Dulla menyampaikan kabar gembira itu. Tahun ini ia bakal naik haji!!! Ia bakal berziarah ke kota Mekkah dan Madinah. Ia bakal dipanggil pak haji, Haji Dulla. Betapa senangnya ia dipanggil pak haji. Betapa senangnya ia berkopiah putih nantinya. Ia bakal diziarahi orang sekampung dari tanah suci. Ziarah kepada haji Dulla.

Dulla segera menyampaikan kabar gembira itu kepada Pak Kades. Tapi sayang, Pak Kades menanggapinya sebagai lelucon. Mana ada seorang Dulla naik haji. Bohong besar. Apalagi lelaki melarat itu belum pernah minta surat keterangan desa. Jelas si Dulla itu sedang stress, sinting atau bahkan sedang gila. "Walah, sejak kapan si Dulla itu kesurupan setan alas?," tanya Pak Kades kepada salah seorang kerabat desa dengan nada setengah mengejek.

"Mungkin malam Jum'at Legi kemarin," sambut Pak Sekdes sambil tertawa. "Dulla itu jelas-jelas sudah gila."

"Memang gila. Mana ada Dulla melarat naik haji. Apa tidak gila itu," ucap yang lain sengitnya. "Edan bin gila."

Maka kabar tentang Dulla gila cepat didengar orang-orang kampung. Bahkan seluruh penduduk desa mendengar berita tentang Dulla gila. Mana ada si Dulla miskin, melarat bisa naik haji. Buat makan saja harus memikul sayur. Hanya pas-pasan buat makan. Dulla bersikap sabar. Meskipun seluruh penduduk desa mengolok-olok Dulla gila, ia tetap berusaha meyakinkan semua orang bahwa ia akan naik haji. Sudah bayar lunas ongkosnya di bank. Ia tinggal menunggu panggilan pemberangkatan. Kira-kira tiga bulan lagi.

Berhubung semua orang termakan berita dari orang-orang pemerintahan desa, berita tentang Dulla yang hendak naik haji, akhirnya menjadi bahan tertawaan serius orang-orang kampung. Keseriusan tersebut akhirnya mengarah pada tindakan yang kelewatan. Seluruh penduduk sepakat untuk memasung Dulla. Orang gila sangat berbahaya kalau dibiarkan. Kasihan lagi. Dengan dipasung, mereka yakin Dulla akan segera sembuh dari gilanya. Kalau dibiarkan berlarut-larut, gilanya akan semakin menjadi-jadi. Berbahaya bagi keamanan penduduk desa.

Karena kuatnya keyakinan masyarakat tentang penyakit jiwa yang diderita Dulla, maka mereka sepakat dan beramai-ramai menebang pohon randu (kapuk). Dengan batang randu itulah Dulla benar-benar dipasung. Diberlakukan lebih rendah daripada seekor binatang. Terkadang anak-anak nakal iseng melemparnya dengan kerikil, terkadang diludahi. Alasan mereka agar Dulla cepat sadar.

"Aku tidak gilaaaa....!!!," teriaknya memelas sambil minta pasungannya di buka. "Aku tidak gila! Mengapa orang-orang tega benar pada saya! Semuanya yang gila! Aku mau naik haji karena takdir. Aku dipanggil Allah!," ucap Dulla sambil memelas.

Apapun yang dilakukan Dulla tiada yang mau peduli. Semua yang terlontar dari mulut lelaki itu tiada berarti. Semua menganggap teriakan-teriakan kosong seorang Dulla gila. Dengan teganya orang-orang kampung membiarkannya kehujanan dan kepanasan. Mengapa orang mau ibadah haji malah jadi bahan ejekan? Mereka semua yang gila?, keluh Dulla dengan suara lirih lemas.

Dalam keadaan yang sangat tidak berdaya, Dulla pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Ia tidak henti-hentinya bertasbih, bertahmid dan bertakbir dalam hati, tanpa suara. Sebab kalau semua ucapan dzikirnya diucapkan dengan suara, semua orang akan menontonnya dan benar-benar mengatakan Dulla gila.

Ternyata kepasrahan yang tulus membuahkan hikmah besar. Pada saat orang-orang sekampung sedang menontonnya, Pak Kades bersama-beberapa orang kerawat desa datang. Di antara mereka ada seorang penggede. Pak Kades tidak seperti biasanya, kali ini bermuka pucat pasi, tapi bukan karena sakit. Dari raut mukanya terbaca ia sedang menyimpan sesuatu yang membuatnya malu besar!

"Bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara. Saya minta Dulla dilepas. Kita telah salah sangka kepada Pak Dulla. Ia tidak gila. Ia benar-benar telah lunas ONH-nya. Bapak ini yang mengurus semuanya." Ucap Pak Kades menunduk.

Semua orang terperangah. Sebagian ada yang membuka pasungan Dulla. Sebagian lagi menangis. Tanpa perintah, yang sadar akan kesalahannya segera menyalami Dulla meminta maaf. Ada pula yang kecewa telah termakan omongan kerawat desa, sedangkan yang kecewa berat langsung memprotes Pak Kades beserta stafnya.

Sementara bapak panggede itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir mengapa semua orang seenaknya menganggap Dulla gila. Kok tidak ditanyakan terlebih dahulu kebenaran Dulla yang hendak naik haji. Sungguh kesalahan dan kebodohan yang memalukan.

 Sedangkan Dulla tidak menaruh dendam sedikitpun. Ia mesem-mesem saja telah mengalami kejadian yang mengenaskan. Kepada Pak Kades ia bilang : "Tak apalah semua itu terjadi." Ia bersyukur kepada Allah sebab hal itu termasuk sengsara membawa nikmat. Sengsara setelah beberapa tahun bekerja melarat, sengsara setelah sekian hari dipasung orang. Nikmatnya, ia sungguh-sungguh akan berangkat ke Mekkah dan Madinah, nikmat karena ongkos naik hajinya benar-benar telah lunas. Nikmat sebab semua orang tahu bahwa dia yang benar, dan tidak gila! Ia bukan Dulla Gila seperti yang telah disangkkan orang-oang se kepadanya. Dia tidak Gila!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun