Dunia peradilan menjadi 'topic trending' dalam beberapa waktu terakhir. Akibat ulah negatif dari segelintir oknum menjadikan citra dunia peradilan kembali terpuruk. Bagaikan peribahasa akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Dari persoalan klasik tentang mafia kasus, suap maupun pelangaran-pelanggaran lain yang tanpa disadari telah membuat rusaknya citra dunia peradilan di mata masyarakat.
Berbicara masalah dunia peradilan tidak bisa terlepas pula dari pembicaraan tentang hakim selaku salah satu motor penggerak dalam dunia peradilan itu sendiri. Hakim merupakan titik sentral yang selalu disorot berkaitan dengan maju atau mundurnya citra dunia peradilan. Hakim yang merupakan suatu profesi mulia (officium nobile), untuk itulah terhadap para hakim (pada saat menjalankan tugas persidangan) disematkan sebutan 'yang mulia'. Baik hakim pada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi (Mahkamah Agung). Hakim merupakan satu-satunya profesi yang mendapatkan sebutan demikian, tidak ada satupun profesi lain yang mendapatkan sebutan 'yang mulia' tersebut. Secara psikologis beban berat tersandang pula pada pundak para hakim dengan sebutan yang demikian. Hakim seolah-olah mendapatkan kedudukan istimewa dibandingkan profesi lainnya, meskipun di hadapan hukum dalam kehidupan sehari-hari kedudukannya adalah sama dan setara dengan orang lain (equality before the law).
Bahkan selain dengan sebutan 'yang mulia' ini hakim masih juga mendapatkan sebutan sebagai 'wakil Tuhan'. Hal yang demikian tercermin dalam setiap putusan (pengadilan) yang dibuat oleh hakim dimana wajib mencantumkan irah-irah 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa', artinya dalam setiap putusan pengadilan (yang dibuat) tersebut hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri atau pencari keadilan akan tetapi setiap putusan yang dibuatnya tersebut hakim harus mempertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa di kemudian hari nantinya. Untuk itu hakim dituntut selalu profesional dalam menjalankan tugasnya.
Selain mendapatkan sebutan yang istimewa tersebut pada sisi lain profesi hakim sangat beresiko dengan berbagai macam godaan (duniawi) mengingat tugas hakim dalam menentukan 'nasib' seseorang di dunia. Meskipun dalam setiap profesi (yang lain) juga mengandung resiko jabatan. Sejak diangkat dan disumpah serta ditempatkan pada suatu pengadilan (negeri) sebagai seorang hakim akan selalu teringat dan akan menjunjung tinggi kalimat 'fiat justitia ruat coelum' yang artinya keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh. Hakim harus senantiasa menjunjung tinggi keadilan apapun resiko yang akan dihadapi.
Sebagai suatu profesi seorang hakim juga harus tunduk pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang terdiri atas sepuluh prinsip dasar diantaranya berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah diri, bersikap profesional.
Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara yang membawahi semua lingkungan peradilan juga mempunyai organ yang disebut dengan Badan Pengawas yang salah satu tugasnya mengawasi perilaku hakim dan aparat peradilan dengan melalui Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS). Melalui system pengawasan yang merupakan system informasi penanganan pengaduan ini dapat digunakan oleh pihak publik untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim dalam melaksanakan tugas-tugas maupun pelanggaran kode etik dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan untuk menyikapi berbagai kejadian yang telah mencoreng wibawa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya pada tahun 2017 Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 yang pada intinya  Mahkamah Agung akan memberhentikan pimpinan Mahkamah Agung atau pimpinan badan peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya selaku atasan langsung apabila ditemukan bukti bahwa proses pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan tersebut tidak dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan. Selain itu Mahkamah Agung juga tidak akan memberikan bantuan  hukum kepada hakim maupun aparatur Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya yang diduga melakukan tindak pidana dan  diproses di pengadilan.
Berbagai tindakan pengawasan maupun sanksi yang begitu berat akan diterapkan kepada para hakim selaku 'wakil Tuhan' apabila para hakim tersebut tidak mentaati segala aturan yang ada.Â
Namun bagaikan disambar petir di siang bolong pada tanggal 23/10/2024 tiga orang hakim pengadilan negeri Surabaya masing-masing bernama Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo ditangkap (dalam operasi tangkap tangan) oleh Kejaksaan Agung. Selain melakukan penangkapan terhadap hakim-hakim tersebut yang diduga  telah melakukan tindak pidana suap tersebut Kejaksaan Agung juga melakukan penggeledahan dan penyitaan uang dalam  bentuk pecahan rupiah, dollar Amerika Serikat (USD) hingga dollar Singapura (SGD) yang apabila dikalkulasi senilai Rp.20 milyar.  Suatu keadaan yang mencengangkan dan menimbulkan kecurigaan apabila dilihat dari nilai uang yang telah disita apabila dibandingkan dengan penghasilan seorang hakim. Menjadikan pertanyaan uang siapa dan darimana diperoleh uang tersebut oleh hakim yang bersangkutan.  Â
Pihak Kejaksaan Agung mengindikasi kuat ketiga (oknum) hakim tersebut telah menerima suap dalam memutus bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur (dalam kasus terbunuhnya Dini Sera Afriandi). Apalagi Mahkamah Agung dalam putusan kasasi yang diajukan oleh pihak kejaksaan dalam perkara tersebut telah menganulir putusan pengadilan negeri Surabaya yang telah membebaskan terdakwa, bahkan menyatakan terdakwa telah terbukti bersalah  dan menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun kepada Gregorius Ronald Tannur. Meskipun putusan dalam tingkat kasasi tersebut tidak tercapai secara bulat artinya terdapat hakim yang berbeda pendapat dengan hakim  lainnya.
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman 'putusan' dan 'hakim' merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena putusan (pengadilan) merupakan produk inti (core business). Dapat pula dikatakan suatu putusan (pengadilan) merupakan 'mahkota' bagi seorang hakim. Sehingga putusan yang berkwalitas mencerminkan kwalitas dari pembuatnya (hakim) sedangkan sebaliknya putusan yang tidak berkwalitas mencerminkan pula ketidak berkwalitasnya hakim yang  bersangkutan.
Sebenarnya bukan kali ini saja hakim ditangkap oleh pihak aparatur penegak hukum lain, sudah ada beberapa (oknum) hakim diantaranya hakim agung Gazalba Saleh dan Sudrajat Dimyati yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kemudian perkaranya telah diputus oleh pengadilan. Bahkan untuk pengadilan negeri Surabaya sendiri sebelumnya pernah ditangkap juga seorang hakimnya yang bernama Itong Isnaeni Hidayat (11/1/2022) dan kemudian dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan.Â
Menjadi pertanyaan apakah layak hakim sebagai aparatur penegak hukum penyandang sebutan 'wakil Tuhan' kemudian ditangkap oleh aparatur penegak hukum lain ?
Dilansir dari keterangan Hakim Agung Yanto selaku jurubicara Mahkamah Agung kepada para wartawan (24/10/2024) di Jakarta yang mengatakan seluruh penangkapan ketua, wakil ketua dan hakim dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dengan seijin Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal tertangkap tangan tidak perlu ijin. Hal itu sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang mengatur pemanggilan, pemeriksaan , penggeledahan, penangkapan dan penahanan pejabat negara terhadap hakim harus seijin ketua Mahkamah Agung (MA).
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang Undang tersebut dinyatakan Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung kecuali dalam hal :
a. tertangkap tangan melakjukan tindak pidana kejahatan.
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Dengan demikian secara juridis formal terhadap seorang (oknum) hakim dapat dilakukan penangkapan oleh aparatur penegak hukum lain, namun perlu dilakukan sesuai prosedur dengan tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sampai pengadilan memutus perkara tersebut.
Kita semua berharap (seorang) hakim selaku 'wakil Tuhan' senantiasa mengedepankan hati nurani dalam memutus suatu perkara , bukan semata-mata karena menurutkan nafsu (serakah) dalam pemenuhan kebutuhan/kesejahteraan finansial dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga diharapkan tidak akan terjadi lagi 'wakil Tuhan' yang ditangkap oleh aparatur penegak hukum. Dari sekitar 7000 an hakim di Indonesia saat ini masih banyak hakim yang berintegritas dan selalu menjunjung tinggi moral serta mengedepankan nurani dalam menjalankan tugas (peradilan) demi tercapainya keadilan yang sebenar-benarnya.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H