Mohon tunggu...
basari budhi pardiyanto
basari budhi pardiyanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNS

salah satu hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Apakah Ada 'Dusta' dalam Pengungkapan Kasus Vina Cirebon 2016

9 Agustus 2024   10:54 Diperbarui: 9 Agustus 2024   12:05 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus meninggalnya sepasang kekasih Vina dan Eky yang terjadi pada tahun 2016 silam terus menuai pro dan kontra. 'Bola liar' atas pengungkapan kasus tersebut terus melambung ke sana kemari. Kapolri pada akhirnya membentuk tim khusus untuk mengungkap kebenaran kasus tersebut. Meskipun secara juridis formal kasus tersebut telah selesai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Proses pengungkapan kasus yang dimulai dengan penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan baik pengadilan tingkat pertama, banding maupun kasasi telah dilalui. Eksekusi terhadap para terpidana juga telah dilakukan, bahkan salah seorang diantaranya telah bebas kembali dan sudah keluar dari penjara. Pengajuan upaya grasi juga telah dilayangkan namun ditolak oleh presiden.

Penyidikan kasus ini sendiri berawal dari adanya kecurigaan orang tua salah satu korban (Muhammad Rizky atau Eky) yang kebetulan berprofesi sebagai anggota kepolisian. Yang bersangkutan merasa curiga penyebab kematian anaknya (korban) bukanlah akibat kecelakaan lalu lintas, namun adalah korban pembunuhan. Untuk itu yang bersangkutan membuat laporan polisi dan ditindaklanjuti dengan proses penyidikan.

Informasi pertama yang diperoleh tentang kejadian tersebut serta dugaan pelaku yang menyebabkan kematian korban didapatkan dari saksi yang bernama Aep dan Dede Riswanto. Dari informasi inilah kemudian penyidikan dikembangkan sehingga berhasil 'mengamankan' para terduga pelaku (saat ini telah menjadi terpidana) beserta beberapa barang bukti. 

Prosespun terus bergulir hingga pihak penuntut umum (kejaksaan) menyatakan telah lengkap yang pada akhirnya perkara tersebut diperiksa di pengadilan. Dari hasil pemeriksaan di pengadilan inilah kemudian dinyatakan para pelaku telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana dan turut serta melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya.

Disimpulkan dari putusan pengadilan tersebut keduanya merupakan korban pembunuhan (berencana) dari sekelompok orang yang diduga merupakan kelompok geng motor. Dalam putusan Pengadilan Negeri Cirebon sampai dengan putusan Mahkamah Agung menyatakan adanya 11 (sebelas) orang sebagai pelaku dalam kejadian tersebut, dengan 8 (delapan) orang telah diajukan dalam persidangan dan kemudian dinyatakan terbukti bersalah sehingga dijatuhi pidana penjara seumur hidup kecuali salah seorang diantaranya (pada saat itu masih di bawah umur) atas nama Saka Tatal yang dijatuhi pidana penjara selama 8 tahun. Sedangkan 3 orang lainnya atas nama Pegi Perong, Dani dan Andi yang belum tertangkap (masih buron) dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak proses penyidikan.

Menjadi pertanyaan adalah mengapa sebagai 'saksi kunci' dalam pengungkapan kasus Vina Cirebon ini saksi Aep dan saksi Dede Riswanto tidak pernah diperiksa dan memberikan keterangan dalam persidangan di pengadilan. Pada hal berdasarkan ketentuan Pasal 185 (1) KUHAP keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Artinya keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP hanyalah apa yang telah diterangkan di depan persidangan, bukan keterangan yang telah diberikan pada saat proses penyidikan berupa Berita Acara Persidangan (BAP).

Hal yang demikian terkait dengan penilaian hakim dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, di mana hakim harus dengan sungguh-sungguh  memperhatikan antara lain alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu. Dan itu hanya dapat dilakuikan secara langsung dengan cara tanya jawab kepada saksi dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Dengan tidak diperiksanya (seorang) saksi di persidangan menjadikan hilangnya peluang hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi tersebut. 

Pada hal dengan pemeriksaan saksi di persidangan diharapkan hakim akan dapat menilai dan mengetahui adanya tujuan ataupun motif serta alasan seseorang memberikan keterangan tersebut.  Dalam kasus Vina Cirebon ini kenyataannya antara saksi Aep dengan (sebagian) para terpidana telah ada permasalahan sebelumnya. Menimbulkan pertanyaan pula apakah motif ini yang kemudian mendorong saksi Aep memberikan kesaksian yang telah memberatkan para terpidana tersebut.

Meskipun dalam ketentuan KUHAP sendiri telah mengatur pada saat proses penyidikan saksi diperiksa dengan tidak disumpah, kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. Artinya seorang saksi akan diperiksa dengan dilakukan penyumpahan apabila ada dugaan saksi tersebut tidak akan (dapat) hadir di persidangan misalnya keberadaan saksi di luar negeri atau sedang menjalankan tugas negara yang tidak dapat ditinggalkan. 

Demikian pula apakah pada waktu itu penyidik (kepolisian) sudah mengetahui apabila para saksi (Aep dan Dede Riswanto) tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan, sehingga pada waktu pemeriksaan terhadap mereka langsung dilakukan dengan disumpah terlebih dahulu.

Banyak pihak meragukan hasil pengungkapan kasus tersebut. Berbagai kejanggalan dalam pengusutan dan pengungkapan kasus tersebut terus diungkapkan ke publik (media sosial). Mulai dugaan kasus yang sebenarnya bukan pembunuhan akan tetapi kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana diriliis pertama kali oleh pihak kepolisian, namun pada saat itu tidak dilakukan penyidikan sehingga sampai dengan saaat ini belum ada hasil penyidikan terjadinya kecelakaan lalu lintas dimaksud.

Muncul pula adanya dugaan terjadi intimidasi ataupun paksaan sampai dengan adanya arahan dari seseorang pada saat pemeriksaan di kepolisian terhadap para terpidana maupun saksi-saksi. Bahkan kemudian hasil persidangan (putusan pengadilan) perkara tersebut dianggap tidak tepat karena telah menjatuhkan pidana penjara kepada bukan pelaku sebenarnya.

Demikian pula beberapa orang yang dianggap sebagai saksi kunci secara terang-terangan menyatakan mencabut kembali keterangan yang pernah diberikan terdahulu dengan alasan keterangan tersebut diberikan karena adanya intimidasi maupun arahan dari orang lain. Keterangan yang diberikan tersebut bukan merupakan keterangan yang sebenarnya.

Inilah yang kemudian dijadikan sebagai salah satu peluang oleh (mantan) terpidana atas nama Saka Tatal untuk melawan putusan tersebut dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam upaya membersihkan kembali nama baiknya. 

Demikian pula halnya para terpidana yang lain akan segera mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan tersbut. Hal ini sesuai aturan hukum (acara) yang berlaku sebagaimana ketentuan Pasal 263 (1) KUHAP dalam melakukan perlawanan atasan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Namun demikian dalam Kasus Vina Cirebon ini bukan hanya pihak terpidana yang 'melawan' atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, pihak penyidik Polda Jawa Barat juga melakukan perlawanan meskipun tidak melalui mekanisme hukum yang berlaku. 

Pihak penyidik Polda Jawa Barat hanya 'menganulir dan menghapus' adanya 2 (dua) orang DPO lain atas nama Dani dan Andi yang dianggap fiktif setelah melakukan penangkapan atas diri Pegi Setiawan. 

Meskipun pada akhirnya penangkapan dan penahanan serta penetapan tersangka tersebut akhirnya dianulir oleh Pengadilan Negeri Bandung melalui putusan praperadilan dengan menyoroti adanya kesalahan prosedur yang dilakukan oleh penyidik Polda Jawa Barat dalam penetapan tersangka terhadap Pegi Setiawan.

Dari kacamata hukum acara (pidana) merupakan suatu hal yang aneh dan janggal apabila sebuah putusan (pengadilan) yang telah berkekuatan hukum tetap bukannya dilaksanakan (eksekusi) namun dilakukan 'perlawanan'  dengan cara menganulir dan menghapus terhadap hasil penyidikan yang telah dilakukannya terdahulu. Pada hal sejatinya putusan pengadilan tersebut berawal dan berdasarkan dari adanya penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik (kepolisian) sebelumnya. 

Adanya 3 orang (tersangka) yang masuk dalam daftar pencarian orang tentulah merupakan hasil penyidikan yang telah dilakukan berdasarkan alat bukti yang cukup misalnya berdasarkan keterangan saksi-saksi  yang kemudian dapat terbentuk suatu rangkaian atau konstruksi kejadian. Sehingga apabila kemudian penyidik menganulir ataupun menghapusnya dengan beralasan itu adalah fiktif maka mengakibatkan terjadinya missing link pada rangkaian peristiwa yang telah terjadi tersebut.

Apakah ada 'dusta' selama proses penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik (kepolisian) terdahulu sehingga beberapa saksi kunci mencabut kembali keterangan yang pernah diberikan terdahulu, bahkan pihak penyidik sendiri kemudian 'mengingkari' hasil penyidikan yang telah dilakukannya tersebut dengan menyatakan 2 orang DPO yang telah diterbitkan dan menjadi pertimbangan hukum dalam suatu putusan pengadilan adalah fiktif. Semudah dan sesederhana itukah proses penyidikan suatu kasus (pidana) dilakukan apalagi terkait dengan hilangnya nyawa seseorang yang pada akhirnya akan berakibat tragis pada 'nasib' terpidana.   

Akan sangat berbahaya bagi penegakan hukum apabila benar hal ini terjadi disamping menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyidikan dalam suatu proses (hukum) pidana.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun