Tiga tahun yang lalu, tepatnya pada awal tahun 2017, saya membuka akun di sini : Kompasiana. Sebuah tempat meledakkan segala kecemasan. Wadah untuk mengeluarkan semua kebisingan di kepala.
Diantara artikel yang tersimpan cantik di Kompasiana, sebagian besar berhubungan dengan pekerjaan saya sebagai seorang ASN di Badan Pusat Statistik. Gudangnya data. Rugi kiranya jika saya tidak menuliskan fakta yang diperoleh para petugas data BPS.
Tidak sedikit tulisan yang lahir dari keresahan setelah melihat data-data statistik. Tentang cita-cita negara yang mulai kehilangan arah. Dirampas para koruptor. Akibatnya, pembangunan tak merata. Ups, tunggu. Ini terlalu serius, Ferguso. Hehe.
Kita kembali ke narasi utamanya: Tentang Kompasiana dan segala pengalaman menikmati tulisan para Kompasianer. Dan kesan selama menulis di sini. Di Kompasiana.
Boleh dibilang, saya membuka akun Kompasiana karena ikut-ikutan teman. Setidaknya, saya mengikuti coretannya sejak 2011. Artikelnya daging semua. Dan sebagian besar menjadi pilihan editor yang kemudian nangkring di posisi Headline. Artikel Utama.
Dia itu salah satu Kompasianer yang selalu saya tunggu tulisannya. Meski belakangan larut dalam kesibukannya d kantor. Saya sebut saja inisial namanya : Kadir Ruslan.Â
Awalnya, saya suka menulis genre cerpen. Entah itu cerpen atau hanya goresan biasa saja. Cerita tanpa makna. Apalagi mengikuti aturan penulisan cerpen. Mungkin jauh sekali. Maafkan saya.Â
Apapun yang bergelora dan berbisik di kepala, saya usahakan untuk menulisnya di Kompasiana. Atau di blog pribadi saya. Lebih banyak sih di Kompasiana.Â
Sekalian aja numpang ngetop, tapi belum kesampaian hingga sekarang. Akun saya saja masih centang hijau. Mungkin nggak bakalan centang biru. Entahlah. Saya sadar bukan seorang ekspert. Dan tulisan saya biasa saja. Â Hehe.
Jika membuka profil saya, Anda akan menemukan satu-dua atau lebih tulisan puisi. Ah, itu mengingatkan saya pada suatu masa di zaman putih-biru. Bangku SMP. Saat itu, saya sering menulis puisi. Berlanjut hingga kuliah. Lalu berhenti saat sudah menjadi abdi negara. Alamak, Kompasiana mengungkit jiwa pujangga dalam diri yang kehilangan arah.Â
Sebenarnya, saya juga suka membuka dan membaca artikel cerpen di Kompasiana. Beberapa penulis centang biru menjadi pilihan. Selalu ditunggu-tunggu setiap gelap sudah menyelimuti dunia. Ditemani penerangan lampu. Dihibur suara gesekan daun bambu dan bunyi jangkrik merdu.Â