Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Alumni Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menyetop Konversi Lahan Pertanian, Mimpi di Siang Bolong?

9 Oktober 2020   14:39 Diperbarui: 13 Oktober 2020   12:05 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani di sawah. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Konversi Lahan pertanian marak terjadi di Indonesia. Kondisi ini tidak lepas dari pertambahan populasi penduduk yang semakin besar setiap tahunnya. 

Berdasarkan data Dukcapil Kemendagri, penduduk Indonesia per 30 Juni 2020 sekira 268,58 juta jiwa. Ini yang tercatat memiliki kartu administrasi kependudukan.

Sedangkan data proyeksi penduduk BPS menyebut penduduk Indonesia mencapai 269,60 juta jiwa pada 2020. Hasil proyeksi ini diperoleh dari data sensus penduduk 2010 dan survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2015 tanpa melihat ada-tidaknya kelengkapan administrasi penduduk.

Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, luas baku lahan sawah pada tahun 2019 seluas 7,47 juta hektar. Data ini menunjukkan adanya pengurangan luas lahan baku sawah jika dibandingkan data BPN tahun 2013 yang menyebut luas lahan baku sawah mencapai 7,75 juta hektar.

Artinya, lahan pertanian berkurang 277 ribu hektar sepanjang medio 2013-2019. Data ini sedikit mengkhawatirkan akan terjadinya krisis pangan nasional.

Hal ini dipertegas oleh penurunan produksi beras nasional sebesar 7,75 persen pada tahun 2019 jika dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara total konsumsi beras penduduk bertambah sebesar 0,21 juta ton seiring bertambahnya jumlah penduduk. 

Melihat hal tersebut, bisa jadi ramalan Thomas Malthus akan menjadi kenyataan. Dimana jumlah penduduk semakin besar tetapi bahan pangan kian merosot akibat eksploitasi manusia secara berlebihan terhadap sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhannya.

Mengutip Detik Finance (4 Juli 2020), Menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas, ancaman yang disampaikan oleh FAO tentang krisis pangan itu tidak benar. 

Argumen yang disampaikan ini berdasarkan data produksi pangan dunia khususnya serelia (biji-bjian sumber karbohidrat seperti padi, gandum, dan lain-lain) yang mengalami peningkatan pada tahun 2019. Hanya saja khusus komoditas padi terjadi penurunan sebesar 0,5 persen. 

Dua faktor yang menyebabkan krisis pangan yaitu produksi dan harga pangan. Data terkhir menyebut keduanya masih aman yang memberikan gambaran bahwa prediksi krisis pangan tidak akan terjadi.

Walaupun begitu, boleh saja sedikit mengantisipasinya dengan berbagai kebijakan pemerintah. Salah satunya, pemerintah mengeluarkan kebijakan "food estaste" atau lumbung pangan di Kapuas, Kalimantan Tengah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun