Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Alumni Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memetakan Produksi Beras

6 Februari 2019   09:32 Diperbarui: 6 Februari 2019   12:17 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badan Pusat statistik (BPS) telah merilis data beras dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA). Hasilnya, Indonesia surplus 2,85 juta ton beras pada tahun 2018. Namun, terdapat beberapa daerah yang mengalami defisit beras. Hal ini dapat menimbulkan kenaikan harga dan memicu labilitas politik.

Daerah yang mengalami defisit perlu diprioritaskan untuk mendapatkan suplai terlebih dahulu. Ini menjadi penting untuk menjaga pasokan dan memastikan beras tersedia di seluruh pelosok tanah air. Beras masih menjadi komoditi yang paling berpengaruh terhadap kemiskinan. 

Sejak data dirilis, muncul tanggapan tentang perlu-tidaknya melanjutkan impor beras. Merujuk data BPS, Indonesia diperkirakan mengalami surplus sebesar 2,85 juta ton. Di sisi lain, sebanyak 1,4 juta ton beras impor telah mengguyur tanah air periode Januari hingga Agustus 2018.

Perdebatan tentang kebijakan impor beras terus bergulir. Apakah dilanjutkan atau dihentikan. Surplus beras adalah keadaan pada akhir tahun setelah dikurangi konsumsi. Namun, stok beras tidak terkumpul pada satu tempat, tetapi tersebar di petani, penggilingan padi, pedagang, dan gudang Bulog.

Perlu digarisbawahi, bahwa surplus sebanyak itu belum aman jika dibandingkan dengan jumlah konsumsi masyarakat. BPS memperkirakan total konsumsi beras dari Januari hingga Desember sebanyak 29,57 juta ton. Sehingga diperoleh angka rata-rata konsumsi beras sebesar 2,46 juta ton per bulan. Surplus 2,85 ton hanya mencukupi konsumsi satu bulan dalam kondisi normal.

Perkiraan surplus beras pun perlu dipetakan. Di wilayah mana saja terjadi surplus dan defisit sehingga pemerintah dapat melakukan pemerataan pasokan beras. Distribusi yang merata dapat menutup defisit beras di daerah yang bukan sentra produksi beras. Data ini juga penting dalam penentuan distribusi beras impor.

Berdasarkan berita resmi statistik No.83/10/Th.XXI, 24 Oktober 2018, Jawa Timur menjadi daerah penghasil beras terbesar di Indonesia. Diikuti Jawa Barat dan Jawa Tengah pada posisi kedua dan ketiga. Sulawesi Selatan berada pada posisi keempat dan menjadi provinsi dengan produksi beras tertinggi di luar pulau jawa.

Potensi produksi beras Sulawesi Selatan mencapai 3,28 juta ton pada tahun 2018. Surplus mencapai 2,32 juta ton. Wajar saja jika Gubernur Sulsel pernah menolak beras impor masuk ke wilayahnya. Buktinya, Sulsel menjadi penyuplai beras ke daerah lain.

Jika dilihat dari jumlah penduduk, Jawa Barat dan DKI Jakarta perlu mendapatkan perhatian khusus. Kebutuhan beras tidak tercukupi dari produksi sendiri sehingga membutuhkan pasokan dari luar.

Hasil survei KSA yang dilakukan oleh BPS mencatat 12 provinsi mengalami surplus beras sedangkan sisanya dilanda defisit. Untuk Pulau Jawa, dua wilayah mengalami surplus yakni Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan empat lainnya defisit. 

Sebenarnya, Jawa Barat menjadi provinsi dengan produksi beras tertinggi kedua di Indonesia. Namun, mengalami defisit karena jumlah konsumsi penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan jumlah produksi. 

Pertumbuhan penduduk yang tinggi ditambah alih fungsi lahan pertanian menambah pelik masalah beras. Ketahanan pangan, utamanya swasembada beras masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah.

Untuk itu, sebaiknya pemerintah memiliki peta beras nasional. Menggenjot produksi di daerah potensi, mengatur rantai distribusi, dan memastikan daerah yang mengalami defisit teraliri pasokan dari daerah lain. Dibutuhkan semacam early warning system, yang bisa dilihat dari pergerakan harga beras.

Sebenarnya tidak mesti semua wilayah di Indonesia menjadi penghasil beras. Sudah waktunya membuat zonasi sentra produksi pertanian. Misalnya, Memaksimalkan produksi beras di Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Susel dan daerah potensial lainnya. Sedangkan sisanya dimaksimalkan dengan produksi pertanian yang cocok dengan kondisi alam. Misalnya dua provinsi Maluku dengan produk andalan di sektor perikanan.

Peran pemerintah tetap dibutuhkan dalam mengatur sistem perdagangan wilayah. Sehingga  kebutuhan beras antar daerah dapat terpenuhi. Pembangunan infrastruktur yang merajalela di daerah pinggiran bisa memacu ekonomi, khususnya membuka dan melancarkan jalur distribusi. Tak terkecuali program tol laut.

Dengan begitu, distribusi beras dari daerah surplus ke wilayah defisit bisa dilakukan dengan baik. Beras impor diprioritaskan untuk daerah yang mengalami defisit beras. 

Peta produksi beras nasional dapat membantu pemerintah dalam mengatur rantai distribusi. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga ketersediaan beras. Bagaimanapun beras sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia.

sumber: 1 2  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun