Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Hampir menjadi mahasiswa abadi di jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, lalu menjadi abdi negara. Saat ini sedang menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, beasiswa Pusbindiklatren Bappenas. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Kunjungi saya di www.basareng.com. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takbir Melangit

14 Juni 2018   21:48 Diperbarui: 14 Juni 2018   21:58 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aroma syawal sudah melangit, kawan-kawan." Ucap Rahing dengan sangat yakin di lingkaran buka puasa di masjid.

"Sepertinya kamu benar, Rahing. Ini buka puasa terakhir di bulan puasa tahun ini. Sidang isbat di tipi segera berlangsung. Katanya, hilal pertanda Syawal sudah terlihat di banyak tempat."Jawab Bayu dengan mantab.

"Yoi, Bay. So, nikmati es pallu butung itu. Tambahkan sirup pisang ambon kalau kurang manis."

Attar, Rahing, Bayu, dan Candra menandaskan takjil berupa es pallu butung disirami sirup tiga huruf yang katanya hanya diproduksi di salah satu pabrik di Gowa itu.

Lepas itu mereka berwudhu, lalu khusyuk dalam salat tiga rakaat di belakang imam. Berjemaah di masjid yang tampak lengang.

Luas sekali masjid itu. Saf-safnya mengalami kemajuan. Saking majunya, hanya tersisa dua saf jemaah laki-laki berdiri mantab mengikuti gerakan imam.

"Rahing, Saya masih heran, bagaimana kamu bisa mengetahui aroma akhir bulan puasa?"

Mereka berempat melangkah menuju rumah masing-masing. Berhenti sejenak lalu bercakap-cakap di bawah pohon mangga.

"Gampang, Bay. Coba tutup mata. Kembangkan hidungmu. Lalu cium aroma opor ayam, coto, konro, dan segala macam aroma masakan khas Idulfitri. Hehehe."

Rahing terkekeh. Keempatnya tertawa lepas. Perut mereka sudah keroncongan. Aroma masakan tercium lepas di langit desa. Mereka berjanji bertemu kembali di masjid saat salat isya.

Azan isya menyeruak. Keempat anak remaja itu kembali berkumpul di masjid. Keempatnya terlihat senang, gembira. Raut wajah itu pertanda bahwa perut sudah terisi. Kenyang.

Setelah salat, Keempatnya tinggal sementara duduk di masjid. Mereka larut dalam kumandang takbir yang dikumandangkan hampir di seluruh surau di desa.

Hari kemenangan sudah tiba. Rahing mantab mengikuti Takbir bersama teman-temannya. Ada yang senang, ada juga yang bersedih. Sedih karena Ramadan telah pulang menghadap kepada Sang Pencipta. Allah tuhan semesta alam.

Belum tentu Ramadan yang akan datang, kita masih berjumpa dengannya. Walaupun masih diberi kesempatan, tapi, ramadan mendatang adalah Ramadan berbeda. Tidak sama lagi. Setiap Ramadan akan melapor khusus kepada Allah.

"Rahing, sudah siap ke lapangan, kan?"

"Iya, celana tigaperempat sudah siap. Memanjat di pohon pun saya siap."Ucap Rahing dengan sedikit cengengesan.

Mereka berempat berbagi tugas bersama remaja masjid lainnya. Ada yang membawa pelantang suara merek Toa. Ada yang mengangkat mimbar. Membawa kabel-kabel listrik. Ada juga yang sigap membawa microfon, ampli, dan tali rafia.

Mereka berjalan menuju lapangan yang akan dijadikan tempat salat idulfitri esok hari. Lapangan itu adalah halaman sebuah pabrik. Berkerikil kecil. Jika salah sujud, runcingnya batu kerikil akan menghantam jidat. Lumayan perih.

Mereka tiba di lapangan. Mengambil posisi masing-masing. Ada yang memanjat ke atas menara, memasang speaker Toa. Ada yang memanjat di atas seng parkiran. Juga memasang pelantang suara.

Setelah siap, operator menyetel ampli. Kaset takbiran dimasukkan ke dalam radio yang multifungsi. Seketika suara takbir memekikkan telinga. Bersahut-sahutan di udara.

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...

Hati teduh. Sungguh, hati tenang mendengarnya. Rahing kembali merasakan sesak di dadanya. Ramadan betul sudah berganti syawal. Ia telah pergi  meninggalkan kita. Tapi, rasa senang juga menghampiri. Idulfitri pertanda lambang penyucian atas dosa itu telah datang. Itu hanya berlaku bagi orang-orang yang betul-betul menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas.

Sound system berfungsi. Penanda saf salat juga telah dibuat. Tali rafia berwarna merah itu menjadi batas saf. Mimbar juga telah berdiri di tempatnya. Suara Takbir melangit, bersahut-sahutan di udara.

Sesekali juga terdengar suara takbir dari kendaraan yang melewati jalan. Berkonvoi. Takbir keliling. Kendaraan dengan hiasan lampu kerlap-kerlip. Aneka warna yang indah dipandang mata. Dilengkapi pelontar suara.

Rombongan remaja tanggung ini pun meninggalkan lapangan.

Rahing tidak pulang ke rumahnya. Langkah kakinya menuju rumah neneknya. Mamak, bapak, om, tante, dan para sepupu telah berkumpul di sana. Malam takbiran memang penuh suasana kekeluargaan.

Nenek sibuk mengikat "burasa" (buras) . Seharian Ia sibuk menyiapkan adonan dari beras. Pagi hari telah bergumul dengan daun pisang. Mulai mengambil langsung di pohon, menyianginya sedikit. Lalu memotong sesuai ukuran yang diinginkan.

Mamak juga ikut membantu. Mereka duduk melingkar di atas tikar pandan. Tali rafia berwarna meliuk-liuk di badan "burasa". Diikat kuat. Siap mengisi panci ukuran jumbo di atas nyala api berbahan bakar kayu.

Nenek meniup api periuk dengan potongan bambu. Sekira 30 sentimeter panjangnya. Kiriman angin dari mulut ditiupkan. Dua kali. Api menyala. Membakar kayu-kayu kering. Tungku terbuat dari susunan batu-bata.

Perihal memasak "burasa" ini bisa sampai subuh menjelang. Di malam takbiran. Tapi, para nenek tetap bugar di pagi hari. Bersemangat menuju lapangan salat Idulfitri.

Rahing ternganga, kantuk menyerangnya. Ia pamit lalu pulang ke rumah. Lelah meringkup di badannya. Tak mau lepas. Pikirannya masih galau. Merana karena Ramadan pergi meninggalkannya. Dalam hatinya bertanya, akankah Ramadan tahun depan masih menyapanya?

Barakallah. (*)

Gowa, 14.6.2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun