Sound system berfungsi. Penanda saf salat juga telah dibuat. Tali rafia berwarna merah itu menjadi batas saf. Mimbar juga telah berdiri di tempatnya. Suara Takbir melangit, bersahut-sahutan di udara.
Sesekali juga terdengar suara takbir dari kendaraan yang melewati jalan. Berkonvoi. Takbir keliling. Kendaraan dengan hiasan lampu kerlap-kerlip. Aneka warna yang indah dipandang mata. Dilengkapi pelontar suara.
Rombongan remaja tanggung ini pun meninggalkan lapangan.
Rahing tidak pulang ke rumahnya. Langkah kakinya menuju rumah neneknya. Mamak, bapak, om, tante, dan para sepupu telah berkumpul di sana. Malam takbiran memang penuh suasana kekeluargaan.
Nenek sibuk mengikat "burasa" (buras) . Seharian Ia sibuk menyiapkan adonan dari beras. Pagi hari telah bergumul dengan daun pisang. Mulai mengambil langsung di pohon, menyianginya sedikit. Lalu memotong sesuai ukuran yang diinginkan.
Mamak juga ikut membantu. Mereka duduk melingkar di atas tikar pandan. Tali rafia berwarna meliuk-liuk di badan "burasa". Diikat kuat. Siap mengisi panci ukuran jumbo di atas nyala api berbahan bakar kayu.
Nenek meniup api periuk dengan potongan bambu. Sekira 30 sentimeter panjangnya. Kiriman angin dari mulut ditiupkan. Dua kali. Api menyala. Membakar kayu-kayu kering. Tungku terbuat dari susunan batu-bata.
Perihal memasak "burasa" ini bisa sampai subuh menjelang. Di malam takbiran. Tapi, para nenek tetap bugar di pagi hari. Bersemangat menuju lapangan salat Idulfitri.
Rahing ternganga, kantuk menyerangnya. Ia pamit lalu pulang ke rumah. Lelah meringkup di badannya. Tak mau lepas. Pikirannya masih galau. Merana karena Ramadan pergi meninggalkannya. Dalam hatinya bertanya, akankah Ramadan tahun depan masih menyapanya?
Barakallah. (*)
Gowa, 14.6.2016